Jakarta, VIVA – Indonesia memiliki sejarah panjang terkait penyakit dengue atau DBD. Bahkan tahun 2025 ini, negara kita sudah 57 tahun ‘dijajah’ oleh penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk aedes aegypti ini.
“Dengue ini pertama kali ditemukan oleh dokter anak di RSUD Dr Soetomo di Surabaya. Jadi sudah 57 tahun dengue hadir di tengah-tengah kita,” ungkap Spesialis Penyakit Dalam, dr. Dirga Sakti Rambe, M.Sc, Sp.PD, FRSPH, FINASIM, saat media briefing bertajuk “Waspada DBD: Lindungi Keluarga, Selamatkan Masa Depan, yang digelar Takeda di Jakarta, Rabu 23 April 2025. Scroll untuk informasi selengkapnya!
Dokter Dirga melanjutkan, 2024 lalu menjadi tahun dengan kasus dengue tertinggi tidak hanya di Indonesia tapi juga dunia.
“Waktu itu kita meninggalnya sepanjang tahun sampai 1400. Di dunia angkanya 10 ribu. Artinya, Indonesia menyumbang 10 persen. Jadi pada tahun 2024, Indonesia adalah negara dengan kematian dengue tertinggi dj dunia,” ujarnya.
“Tahun 2025 baru berjalan 4 bulan, kita boleh sedikit lega karena menurun, tapi masih ada 8 bulan lagi. Jadi, kita belum bisa menyimpulkan,” tambahnya.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat, sampai dengan 13 April 2025, terdapat 38.740 kasus dengue di Indonesia, dengan kematian sebanyak 182 kasus, yang tersebar di 447 kabupaten/kota di 34 provinsi.
Meski angka ini lebih rendah dibandingkan dengan lonjakan kasus pada periode yang sama tahun lalu, penurunan tren ini tidak serta merta menjadi alasan untuk melonggarkan kewaspadaan.
Sebagai negara hiper-endemik, Indonesia terus menghadapi risiko penularan dengue sepanjang tahun, yang dapat meningkat kapan saja jika langkah pencegahan tidak dilakukan secara konsisten.
Wakil Menteri Kesehatan RI, dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD, Ph.D, KEMD, menyampaikan, lebih dari setengah abad berlalu, DBD tetap menjadi masalah kesehatan yang serius.
Data Kementerian Kesehatan tahun 2024 menunjukkan bahwa jumlah kasus dan kematian meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2023. Per April 2025, sudah tercatat lebih dari 38.000 kasus dan lebih dari 100 kematian akibat DBD.
“Kita semua menyadari bahwa DBD dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti perubahan iklim, kepadatan penduduk, dan mobilitas masyarakat. Artinya, siapa pun bisa berisiko terkena penyakit ini. Oleh karena itu, pencegahan yang menyeluruh perlu menjadi perhatian bersama. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, diperlukan kolaborasi lintas sektor untuk menanggulangi DBD secara efektif,” ucap Prof. Dante.
Dokter Dirga pun kembali menegaskan bahwa dengue bukan sekadar demam yang bisa sembuh dengan sendirinya.
“Masyarakat seringkali menganggap dengue sebagai penyakit ringan yang akan sembuh dengan sendirinya. Padahal, kenyataannya jauh lebih serius. Dengue bisa berkembang cepat dan menimbulkan komplikasi berat, seperti dengue shock syndrome (DSS), perdarahan hebat, dan penurunan drastis jumlah trombosit, yang bisa berujung pada kondisi gawat darurat—terutama pada anak-anak, lansia, atau individu dengan penyakit penyerta,” bebernya.
Menurutnya, yang banyak masyarakat tidak mengerti adalah bahwa seseorang bisa terinfeksi dengue lebih dari satu kali, karena virus dengue memiliki empat serotipe berbeda, dan infeksi berikutnya justru bisa membawa risiko yang lebih tinggi terhadap keparahan, terutama orang-orang dengan penyakit penyerta seperti hipertensi, diabetes, dan ginjal kronik.
“Sampai saat ini belum ada obat spesifik untuk mengatasi dengue. Satu-satunya cara terbaik yang kita miliki adalah mencegah. Dan pencegahan ini harus menyeluruh, dimulai dari mengendalikan vektor nyamuk dengan 3M Plus, edukasi yang berkelanjutan, dan yang tidak kalah penting adalah menambah perlindungan menggunakan metode yang inovatif seperti vaksinasi, yang kini telah direkomendasikan penggunaannya oleh asosiasi medis bagi anak-anak dan orang dewasa, tanpa memandang riwayat infeksi dengue sebelumnya,” katanya.
“Artinya, orang yang belum pernah terkena dengue pun bisa mendapatkan vaksinasi. Namun, untuk mencapai perlindungan yang optimal, seseorang perlu mendapatkan dosis vaksin dengue sesuai yang direkomendasikan dokter,” imbuhnya.
Andreas Gutknecht, Presiden Direktur PT Takeda Innovative Medicines, melihat bahwa edukasi publik memiliki peran kunci dalam mengubah cara kita memahami dan menghadapi dengue.
“Hal ini salah satunya terlihat hasil studi lintas negara yang kami lakukan dengan melibatkan 3.800 responden dari tujuh negara di Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Studi ini menunjukkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat tentang dengue, termasuk vektor, pencegahan, dan vaksinasi, masih rendah—rata-rata hanya 47 persen. Menariknya, Indonesia mencatat skor tertinggi dalam praktik pengendalian vektor secara mandiri, dengan 56 persen responden aktif melakukan upaya pencegahan,” pungkasnya.
“Namun, studi berkala yang dilakukan oleh salah satu perusahaan riset pasar internasional, ternyata menemukan bahwa masyarakat Indonesia cenderung tidak konsisten dan hanya mengintensifkan tindakan pencegahan pada musim hujan atau saat terjadi lonjakan kasus,” tambahnya.
Menurut Andreas, hal ini menunjukkan perlunya upaya edukasi yang lebih konsisten dan berkesinambungan.
“Itulah yang mendorong kami untuk memperkuat kampanye Cegah DBD tahun ini. Di mana, hari ini, kami meluncurkan video edukatif terbaru, situs web interaktif, dan kanal WhatsApp yang dirancang agar informasi penting bisa menjangkau lebih banyak keluarga di Indonesia—dengan bahasa yang mudah dipahami dan terpercaya,” tutupnya.
Halaman Selanjutnya
Wakil Menteri Kesehatan RI, dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD, Ph.D, KEMD, menyampaikan, lebih dari setengah abad berlalu, DBD tetap menjadi masalah kesehatan yang serius.