Kritik Alokasi Kursi Parlemen RI, Pakar Sistem Pemilu: Langgar Prinsip Keadilan Representatif

6 hours ago 2

Jumat, 23 Mei 2025 - 22:23 WIB

Jakarta, VIVA - Ketimpangan dalam alokasi jatah kursi DPR antar daerah pemilihan atau dapil saat pemilu dikritik karena melanggar prinsip keadilan representatif. Pemilu di RI disarankan meniru negara lain yang sudah baik dalam mengatur alokasi.

Demikian dibahas dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk 'Sistem Pemilu Campuran: Jalan Tengah untuk Mencapai Pemilu yang Berkualitas' yang digelar Fraksi Golkar DPR RI pada Jumat, 23 Mei 2025. Pembicara dalam diskusi ini yaitu pakar sistem pemilu dunia sekaligus pensiunan ASN Jerman Pipit Rochijat Kartawidjaja.

Diskusi tersebut bertujuan untuk membedah opsi reformasi sistem pemilu RI termasuk kemungkinan transisi ke sistem campuran seperti yang sudah diterapkan di Jerman atau Jepang.

Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR RI Muhammad Sarmuji menjelaskan dengan diskusi ini sebagai forum untuk menggali opsi-opsi yang bisa diambil bila UU Pemilu direvisi.

"Kita tidak ingin menawarkan obat yang lebih berbahaya dari penyakitnya. Kita tawarkan obat yang jitu untuk mengatasi penyakitnya,” kata Sarmuji.

Logo parpol peserta Pemilu 2024. (Foto ilustrasi)

Menurut dia, Golkar juga mengkaji semua opsi mana yang terbaik untuk bangsa dan negara. "Tidak hanya satu opsi, mana yang terbaik untuk bangsa dan negara, yang muaranya untuk kesejahteraan rakyat," lanjut Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu.

Pun, dalam diskusi itu, Pipit Rochijat mengkritisi ketimpangan alokasi kursi DPR antar dapil. Bagi dia, siste aloksi kursi DPR dalam pemilu RI melanggar prinsip keadilan representatif sebagaimana diatur dalam Pasal 185 UU No. 7 Tahun 2017.

Dia mencontohkan seperti DKI Jakarta II dengan jumlah partisipasi pemilih tinggi hanya mendapat kursi lebih sedikit dibanding DKI Jakarta III.

“Negara maju seperti Jerman dan Norwegia mengatur alokasi kursi berdasar proporsi penduduk, luas wilayah, dan suara sah. Indonesia perlu meniru ini,” ujarnya.

Pipit lalu membeberkan tiga model sistem campuran. Pertama, sistem Paralel yaitu pemilih punya dua suara, hasil distrik dan proporsional tidak saling memengaruhi.

Lalu, Mixed-Member Proportional (MMP) dengan total kursi partai ditentukan oleh suara proporsional. Hal itu dengan penyesuaian dari hasil distrik (digunakan di Jerman dan Selandia Baru). Kemudian, ketiga sistem kompensasi dengan menjaga keseimbangan representasi secara nasional.

Menurut Pipit, sistem campuran mampu menyamakan 'harga kursi' antar dapil, menekan politik uang, memperkuat kaderisasi, serta meningkatkan keterwakilan perempuan dan minoritas.

Dia bilang, sistem campuran adalah jalan tengah yang realistis dan tak terlalu asing bagi pemilih Indonesia. “Model ini masih bernapas proporsional, sehingga tidak menyulitkan publik untuk beradaptasi,” ujarnya.

Adapun Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menilai sistem proporsional terbuka masih lebih menguntungkan. Ia mengingatkan perubahan sistem pemilu RI sejak 2004 berlangsung secara bertahap.

"Kalau ada perubahan ke sistem campuran, beloknya terlalu tajam, menikung, mengubah secara drastis," kata legislator Partai Golkar itu. 

Zulfikar menampik anggapan sistem terbuka membuat anggota DPR lebih liar dan tidak tunduk pada partai. “Lihat saja Firman Soebagyo. Beberapa kali jadi pimpinan AKD, tapi tetap patuh pada garis Fraksi. Saya pun begitu,” tuturnya.
 

Halaman Selanjutnya

Pun, dalam diskusi itu, Pipit Rochijat mengkritisi ketimpangan alokasi kursi DPR antar dapil. Bagi dia, siste aloksi kursi DPR dalam pemilu RI melanggar prinsip keadilan representatif sebagaimana diatur dalam Pasal 185 UU No. 7 Tahun 2017.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |