Jakarta, VIVA - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyampaikan hasil temuan dan kajian yang dilakukan oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, serta Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBHAP) PP Muhammadiyah.
Ketua PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas mengatakan bahwa hasil kajiannya itu mendapati kasus-kasus di Indonesia yang memiliki payung label Proyek Strategis Nasional (PSN), di mana Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 menjadi salah satunya.
Kajian yang dilakukan itu merupakan temuan di lapangan atas beberapa kasus, seperti kasus Rempang, PIK 2, Wadas, kemudian kasus yang terjadi pada nelayan di Surabaya, dan kasus konflik yang terjadi di Pakel.
Busyro menilai temuan di lapangan menggambarkan realitas adat dan martabat rakyat yang ditabrak melalui PSN, di mana sejumlah Peraturan Daerah (Perda) yang menjadi dasar hukum di beberapa wilayah memiliki keseragaman dalam hal Tata Ruang RT-RW.
“Kok bisa seragam? Karena ini merupakan turunan dan sekaligus kepanjangan dari aspek hulunya. Jadi Perda-Perda itu aspek hilir. Hulunya apa? Hulunya pusat. Pusatnya apa? PSN,” ujar dia dalam konferensi pers di Kantor PP Muhamadiyah, Jakarta Pusat, pada Jumat, 16 Mei 2025.
Ketua PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas saat konferensi pers
Photo :
- VIVA.co.id/Fajar Ramadhan
Busyro mengatakan dari hasil kajian dan penelusuran di lapangan mengenai PSN, itu menemukan bahwa Perda-Perda merupakan wujud dari politik hukum oleh pemerintah bersama DPR, khususnya di era mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Di samping itu, praktik penegakan hukum yang sangat dan semakin diskriminatif ini, serta menabrak adab dan kemanusiaan. Jadi politik hukumnya dalam bentuk produk MPR dan DPR tadi, itu diperparah dengan praktik penegakan hukum yang diskriminatif,” kata dia.
Adapun, politik hukum yang dimaksud itu adalah pertama Undang-undang Omnibus Law, kemudian diberi nama Undang-undang Cipta Kerja, dan Undang-undang Mineral Batu Bara.
“Proses pembentukan dua Undang-undang ini sama sekali merendahkan, menistakan martabat kedaulatan rakyat demokrasi, dan tidak mengandung kualitas tata krama demokrasi, baik prosedurnya maupun hasilnya. Tidak melibatkan masyarakat yang kompeten, misalnya masyarakat sipil, lintas NGO, kampus, NGO yang profesional seperti WALHI, dan lain-lain sebagainya,” tutur dia.
Dia menjelaskan, langkah yang ditempuh dalam pembentukan tersebut menggambarkan kualitas akhlak, etika dan moral politik dari pemimpin eksekutif dan legislatif yang memilukan meresahkan dan membuat iba.
“Kenapa iba? Karena mereka semakin lalai dari misinya, memimpin itu bukan menguasai, bukan model pejabat, memimpin itu mengajak kepada kebaikan, kepada rakyat, sehingga harus ada partisipasi rakyat,” ucap dia.
Busyro kemudian mempertanyakan soal proses pemilihan umum baik pusat ataupun daerah, masih sering digunakan cara-cara membagikan bantuan sosial ataupun sogokan lainnya.
“Tapi begitu jadi pemimpin, pejabat, rakyat dilepas. Seperti PSN dan macam-macam. Nah, itulah produk politik legislasi, di samping undang-undang yang lain,” kata Busyro.
Busyro tidak ingin advokasi menjadi alat untuk cuci piring atas langkah-langkah yang terus-menerus tidak demokratis di negara ini, baik di legislatif maupun eksekutif.
“Beberapa kasus yang tadi saya sebutkan, Rempang, PIK 2, dan sebagainya, itu piring kotor. Nah kami yang mencuci, yang mengadvokasi bersama lembaga-lembaga bantuan hukum yang lain. Sampai kapan? Nah, sampai kapannya itu harus dijawab,” kata dia.
Oleh karenanya, dalam kajian tersebut terdapat aspek hulu yang dinilai menggerus demokrasi dan adab kerakyatan, serta mencederai secara terang-terangan spirit, nilai, dan komitmen pembukaan konstitusi UUD RI 1945, dengan pasal-pasal yang tertentu.
“Oleh karena itu, supaya kami tidak berada dalam posisi terus menjadi tukang cuci piring, piringnya nanti kotor, kami yang cuci, dikotori lagi, cuci lagi. Kalau situasinya hulu ini tidak segera kita perbaiki, maka terus rakyat akan terus menjadi sapi perah politik,” katanya.
Sehingga, kajian yang dibuat itu diharapkan kepada Presiden dan DPR untuk segera merevisi semua peraturan perundang-undangan tentang PSN dan merevisi Undang-undang Minerba, Cipta Kerja, dan Undang-undang terkait lainnya.
“Untuk direvisi, hanya saja saya tambahkan, proses revisi ini, perlu sejak awal, naskah akademik itu melibatkan unsur-unsur masyarakat sipil. Selama ini kami tidak pernah dilibatkan. Tidak hanya Muhammadiyah, walaupun kami sudah mencoba Undang-undang Omnibus Law tadi, itu kami sudah melakukan kajian berkali-kali,” pungkasnya.
Halaman Selanjutnya
“Di samping itu, praktik penegakan hukum yang sangat dan semakin diskriminatif ini, serta menabrak adab dan kemanusiaan. Jadi politik hukumnya dalam bentuk produk MPR dan DPR tadi, itu diperparah dengan praktik penegakan hukum yang diskriminatif,” kata dia.