Jakarta, VIVA – Anggota Dewan Ekonomi Nasional 2024–2029, Septian Hario Seto, mengungkapkan proses negosiasi yang cukup alot antara Indonesia dan China terkait restrukturisasi proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau yang bernama Whoosh.
Menurutnya, pembahasan dilakukan dengan prinsip business to business (B2B) agar beban keuangan tidak sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah Indonesia.
“Kita pertahankan spirit, B2B-nya ya. Karena ini dulu spiritnya di awal ya, ini kita harus tetap pegang teguh,” ujar Seto dalam wawancaranya dengan tvOne yang dikutip Senin, 27 Oktober 2025.
Ia menuturkan, pemerintah Indonesia juga telah berdiskusi dengan berbagai pihak, termasuk Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Dalam pembahasan itu, ia menegaskan pentingnya menjaga mekanisme kerja sama B2B antara Indonesia dan China.
Anggota Dewan Ekonomi Nasional 2024–2029, Septian Hario Seto
“Ini memang harus dikedepankan dengan Tiongkok B2B, dan Tiongkok juga ngerti karena kan dia juga 40% pemegang saham, Pak,” katanya.
Seto menambahkan, dengan struktur saham tersebut, kedua pihak perlu berbagi tanggung jawab dan bersama-sama bernegosiasi dengan pihak bank untuk mencari solusi terbaik. Salah satu langkah yang dibahas adalah memperpanjang masa restrukturisasi, melakukan penyesuaian kurs, serta menurunkan suku bunga pinjaman.
“Jadi walaupun ini lebih panjang, tapi suku bunganya kita turunin,” ujarnya Septian.
Ketika ditanya apakah proses negosiasi dengan China berjalan mudah, Seto menegaskan bahwa pembicaraan tersebut tidak selalu sederhana. Ia menjelaskan, negosiasi tetap dilakukan dengan prinsip adil dan realistis, sambil menegaskan bahwa bila restrukturisasi tidak disepakati, operasional proyek bisa terhenti karena Whoosh tidak mampu membayar kewajiban.
Meski begitu, Seto menilai pihak China bisa memahami posisi Indonesia. Ia menyebut kinerja operasional proyek KCJB cukup baik dan bahkan lebih unggul dibandingkan proyek sejenis di negara lain.
“Ya saya kira mereka make sense kok. Karena tadi, ini operasionalnya berjalan dengan bagus, laba operasionalnya ada, lebih bagus dari apa yang ada di Tiongkok. Enggak ada alasan,” ujarnya.
Seto juga menyinggung bahwa proyek kereta cepat merupakan investasi jangka panjang. Ia mencontohkan proyek serupa di Jepang yang telah beroperasi selama lebih dari enam dekade.
Halaman Selanjutnya
“Kalau kita berkaca yang di Jepang ya, di Jepang kereta cepat pertama 1964 sampai sekarang 2025, 61 tahun, itu jalurnya masih ada. Ini pun sama,” beber Septian.

3 hours ago
1









