Jakarta, VIVA — Delegasi pemerintah RI pekan ini diterima secara resmi untuk merundingkan kerjasama dagang strategis dengan Amerika Serikat. RI jadi negara keempat setelah Vietnam, Jepang, dan Italia yang diberikan keistimewaan setelah perang dagang dimulai 2 April lalu.
Perkembangan diplomasi dalam negosiasi yang dilakukan delegasi RI dinilai sebagai sinyal positif. Dari diplomasi itu, RI dan AS sepakat untuk menyelesaikan negosiasi dalam waktu 60 hari.
Pengamat sekaligus Dosen Binus University Doddy Ariefianto menilai progres dari langkah pemerintah ini positif untuk menciptakan neraca perdagangan yang seimbang. Kondisi itu sebagai syarat utama AS untuk mau menurunkan tarif.
Selain itu, juga membuka peluang untuk melipatgandakan hubungan dagang antara RI dengan AS. Menurut dia, dengan persaingan antara AS dan China, maka RI mesti bisa memainkan posisi balance.
“Ini langkah bagus. Kebijakan tarif Trump itu semakin terlihat mengarah ke perang ekonomi China vs AS. Sehingga kita juga harus ingat kalau terlalu dekat sama yang satu, yang lain akan anggap kita sebagai musuh. Kita harus bisa balance," kata Doddy, Jumat, 18 April 2025.
Presiden AS Donald Trump usai menandatangani perintah eksekutif, Rabu, 9/4
Pun, Pemerintah RI menyatakan akan meningkatkan pembelian LPG, minyak mentah, bensin, gandum, kedelai, pakan ternak, dan barang modal dari AS. Beberapa produk itu memang tidak dapat diproduksi cukup di dalam negeri.
Lalu, para negosiator yang dikirim RI juga membuka ruang luas bagi perusahaan-perusahaan AS untuk berkembang di Tanah Air. Melalui percepatan perizinan, pemberian insentif investasi, dan kemudahan prosedur impor, RI menunjukkan keseriusan dalam menjadi mitra dagang yang ramah investasi.
Menurut dia, bukan hanya soal perdagangan barang. Dengan adanya kerja sama bilateral itu juga merambah sektor critical minerals, ekonomi digital, hingga pengembangan SDM dan teknologi.
Lebih lanjut, Doddy mengingatkan diperlukan juga pendekatan simultan ke AS dan China. Sebab, status RI sebagai negara nonblok tidak terhimpit di tengah-tengah pihak yang berseteru.
“Gajah sama gajah berantem, kalau nggak hati-hati kita bisa keinjak-injak di tengah. Delicate situation; perlu approach simultan ke AS dan China,” ujarnya.
Dia menyarankan agar RI sebagai negara besar bisa menggalang dukungan kekuatan yang netral.
“Kita negara besar mestinya bisa menggalang kekuatan yang netral bersama-sama negara lain. Indonesia bisa galang negara-negara lain untuk support WTO; suarakan keprihatinan dan dorong deeskalasi,” lanjutnya.
Adapaun delegasi RI yang dikirim ke AS punya latar belakang menarik. Empat negosiator utama dari RI yaitu: Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menlu Sugiono, Wamen Keuangan Thomas Djiwandono, dan Wakil Ketua Dewan Energi Nasional Mari Elka Pangestu merupakan produk pendidikan AS.
Sebab, Airlangga pernah bersekolah di Wharton School. Sugiono merupakan alumni Norwich University. Thomas jebolan John Hopkins; lalu Mari Elka lulusan PhD dari UC Davis.
Mereka telah melakukan pembicaraan langsung dengan para pengambil keputusan kebijakan ekonomi AS seperti Marco Rubio selaku Menteri Luar Negeri AS. Kemudian, Howard Lutnick sebagai Menteri Perdagangan. Selanjutnya, ada Jamieson Greer selaku U.S. Trade Representative.
Halaman Selanjutnya
Lebih lanjut, Doddy mengingatkan diperlukan juga pendekatan simultan ke AS dan China. Sebab, status RI sebagai negara nonblok tidak terhimpit di tengah-tengah pihak yang berseteru.