Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Dianggap Pembangkangan Terhadap Konstitusi

7 hours ago 3

Jakarta, VIVA - Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI), Prof. Abdul Chair Ramadhan menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah merupakan pembangkangan terhadap konstitusi. Adapun, putusan MK tersebut memisahkan Pemilu DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota, dengan Pemilu DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden.

“Pemilu yang awalnya tidak memisahkan antara pusat (nasional) dan daerah (lokal), kini dipisahkan dengan adanya putusan tersebut, telah menimbulkan masalah yuridis serius dan itu menunjuk pada norma dasar,” kata Chair melalui keterangannya pada Selasa, 8 Juli 2025.

Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, (Foto ilustrasi)

Photo :

  • ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Menurut dia, MK telah melampaui kewenangannya dalam menguji gugatan dari pemohon. Kata dia, jika pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji materiil tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Demikian itu merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang.

Kata dia, suatu norma dalam Undang-Undang yang merupakan kebijakan hukum terbuka tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Suatu norma Undang-Undang yang termasuk dalam kategori kebijakan hukum terbuka, maka norma tersebut berada di wilayah yang bernilai konstitusional.

“Dengan kata lain, bersesuaian dengan UUD 1945. Penulis kutip Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008. Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang,” jelas dia.

Untuk itu, Chair menyayangkan Mahkamah Konstitusi telah berseberangan dengan pendapatnya sendiri dan terperangkap menjadi positive legislature. Di sisi lain, kata dia, dalil pemohon ternyata bukanlah menyangkut konstitusionalitas norma, melainkan implementasi norma.

"Tentu berbeda antara validitas norma dengan bekerjanya hukum. Demikian itu seharusnya bukan menjadi yurisdiksi Mahkamah. Menjadi pertanyaan, mengapa permohonan tersebut diterima oleh Mahkamah Konstitusi?," kata dia.

Justru, Chair mempertanyakan dalil pemohon dalam permohonannya disebutkan menyampaikan argumentasi empirik berdasarkan dua kali penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak, yakni tahun 2019 dan tahun 2024, yang telah terbukt melemahkan derajat dan kualitas kedaulatan rakyat, melemahkan pelembagaan partai politik, serta merugikan pemilih untuk mendapatkan suatu penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil berdasarkan ketentuan Pasal 22E (1) UUD 1945.

"Apakah dalil ini terkait langsung dengan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon. Kerugian itu apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) dengan dengan norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian? Kemudian, apakah ada jaminan dengan dikabulkannya permohonan (in casu Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024), maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi?,” imbuhnya.

Sejatinya, kata Chair, penyatuan pemilu nasional dan daerah dalam satu waktu merupakan bagian dari aturan hukum yang mengikuti. Di mana, lanjut dia, hukum yang diikuti adalah Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945. Di sini yang menentukan adalah kemanfaatan umum yang menunjuk pada konstitusi, yakni terwujudnya pemilu setiap 5 tahun sekali.

"Demikian itu sudah jelas, dan oleh karenanya tidak lagi memerlukan penjelasan apalagi merubah maknanya menjadi lebih dari lima tahun," ungkapnya.

Terkait dengan perkara a quo, prinsip-prinsip yang memiliki kadar yang lebih kuat itu bukanlah tawaran pemohon tentang format keserentakan Pemilu yang dipisah dan dikabulkan MK. Pemilu serentak setiap 5 tahun sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 22E (1) UUD 1945 adalah prinsip, bukan kadarnya lebih kuat dari dalil pemohon dan putusan MK, namun memang dari awalnya tidak ada yang dapat menandinginya.

Lebih lanjut, adanya usulan untuk dilakukan upaya rekayasa konstitusional (constitutional engineering) atas putusan tersebut adalah pendapat pembenaran dan demikian kering argumen yuridis-teoritis. Hal yang perlu dicatat, kata dia, rekayasa konstitusional jika semata-mata hanya mengikuti putusan a quo, yang notabene adalah persoalan implementasi norma, maka hal itu sangat tidak tepat dan tidak pada tempatnya.

"Keadilan adalah menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya. Di sini pembebanan sesuatu sesuai kemampuan dan memberikan sesuatu yang memang menjadi haknya sesuai dengan kadar yang seimbang (proporsional)," kata dia.

Menurut dia, pembagian proporsi yang sama diberikan kepada orang-orang yang sama, sebaliknya orang yang tidak sama tentu akan mendapatkan pembagian yang berbeda. Sehingga, semua orang diberlakukan sama untuk hal yang sama dan diperlakukan berbeda untuk hal yang berbeda.

Dengan demikian, kata dia, yang menjadi tolok ukur keadilan adalah unsur proporsionalnya. Pemilu serentak dan tidak terpisah sudah proporsional dan memiliki validitas dari norma dasar. "Pemisahan Pemilu itu adalah bentuk 'membedakan dua hal yang sama' Pembedaan atas dua hal yang sama merupakan bentuk ketidakadilan dan sekaligus ketidakbenaran," katanya lagi.

Chair menuturkan pemilu serentak dan tidak terpisah dalam masa 5 tahun itu merupakan penyempurna bagi terwujudnya kedaulatan rakyat dan aksiologi hukum konstitusi kepastian hukum yang adil. "Bagaimana kita dapat melakukan rekayasa menambah masa jabatan yang melebihi batas sebagaimana ditentukan dalam konstitusi dalam rangka implementasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut," ungkapnya.

Oleh karenanya, Chair menegaskan pemilu yang dilaksanakan/diselenggarakan secara serentak setiap 5 tahun sekali adalah dimaksudkan tidak melewati masa 5 tahun. Dengan demikian, penyelenggaraan Pemilu serentak untuk tingkat nasional dan lokal yang terpisah dan telah melewati masa 5 tahun, justru bertentangan dengan Pasal 22E (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

“Bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali,” katanya.

Di sisi lain, kata dia, MK dalam pertimbangannya menyatakan bahwa pemaknaan Mahkamah tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh pemohon'. Namun, dalam amar putusannya ternyata sebangun dengan dalil pemohon yang menginginkan pemisahan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah.

"Di sini terlihat, Mahkamah tidak konsekuen dengan menerima dan memutus perkara a quo. Pasal 60 Ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi telah menentukan bahwa, ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda'," kata dia.

Di samping itu, Chair mengatakan konsekuensi pemisahan kedua pemilu itu dengan jeda waktu 2 sampai 2,5 tahun akan memberikan dampak mudarat yang besar ketimbang maslahat yang diinginkan. Semua memahami bahwa ketentuan dalam Pasal 22E (1) UUD 1945 itu tidak bisa diubah dengan Putusan Mahkamah.

Menurut dia, tafsir Mahkamah terhadap konstitusionalitas pasal-pasal dalam Undang-Undang yang diuji benar-benar telah menjadikan tafsir tunggal, bukan terhadap Undang-Undang, melainkan menunjuk pada UUD 1945. Dengan kata lain, Mahkamah telah merubah norma UUD 1945.

"Dengan demikian, putusan a quo merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa keberadaan MK yang semula diharapkan sebagai pelindung konstitusi (the guardian of the constitution) kini telah menjelma menjadi pembangkang konstitusi,” pungkasnya.

Halaman Selanjutnya

"Tentu berbeda antara validitas norma dengan bekerjanya hukum. Demikian itu seharusnya bukan menjadi yurisdiksi Mahkamah. Menjadi pertanyaan, mengapa permohonan tersebut diterima oleh Mahkamah Konstitusi?," kata dia.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |