UU BUMN Baru Bilang Direksi-Komisaris Bukan Penyelenggara Negara, Kejagung: Bisa Dipidana, Asal...

4 hours ago 3

Senin, 5 Mei 2025 - 19:19 WIB

Jakarta, VIVA — Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mengkaji secara seksama Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN), yang baru disahkan pada 24 Februari 2025.

Fokus kajian ini tertuju pada ketentuan kontroversial dalam UU tersebut, yakni yang menyebutkan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, serta dewan pengawas BUMN tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara.

Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, menyampaikan bahwa lembaganya masih mendalami secara hukum dan sistemik implikasi dari ketentuan tersebut.

“Terkait dengan keberadaan UU BUMN yang baru, tentu yang pertama kami terus melakukan pengkajian dan pendalaman terhadap substansi yang terdapat di dalamnya,” kata Harli kepada wartawan, Senin 5 Mei 2025.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar

Photo :

  • VIVA.co.id/Foe Peace Simbolon

Harli menegaskan bahwa meskipun status hukum direksi dan komisaris BUMN berubah, Kejaksaan tetap berkomitmen untuk menindak tegas segala bentuk tindak pidana, khususnya yang mengarah pada korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Menurutnya, penegakan hukum akan tetap berjalan jika terdapat unsur fraud, persekongkolan, atau aliran dana negara secara tidak sah, meskipun pelakunya berasal dari entitas yang tidak dikategorikan sebagai penyelenggara negara.

“Jika ada unsur penipuan, persekongkolan, permufakatan jahat, dan aliran uang negara ke BUMN atau korporasi dalam bentuk apapun, itu tetap bisa dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Di situlah pentingnya proses penyelidikan untuk mengidentifikasi apakah ada unsur-unsur tersebut,” ujarnya.

Harli menambahkan, keberadaan unsur keuangan negara dalam suatu kegiatan BUMN bisa menjadi dasar awal bagi aparat penegak hukum untuk melakukan investigasi lebih lanjut, terlepas dari status penyelenggara negara atau tidaknya individu yang terlibat.

UU BUMN 2025 mengubah sejumlah ketentuan mendasar dari regulasi sebelumnya, yakni UU Nomor 19 Tahun 2003. Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah Pasal 9G, yang secara eksplisit menyatakan bahwa anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.

Selain itu, Pasal 87 angka 5 juga mempertegas bahwa pegawai BUMN tidak termasuk kategori penyelenggara negara. Ketentuan ini berlaku terhadap seluruh pegawai yang diangkat dan diberhentikan berdasarkan peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Perubahan status ini menimbulkan kekhawatiran dari sejumlah kalangan, karena dapat mempersempit ruang lingkup pengawasan oleh lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman, maupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang selama ini menggunakan status penyelenggara negara sebagai dasar pertanggungjawaban etik dan hukum.

Sejumlah pakar hukum juga mempertanyakan apakah ketentuan baru ini dapat membuka celah impunitas bagi elite BUMN, terutama mengingat banyak kasus korupsi yang sebelumnya melibatkan direksi atau komisaris perusahaan milik negara. Dalam beberapa kasus besar, status mereka sebagai penyelenggara negara memungkinkan penanganan oleh KPK dengan skema hukum pidana korupsi yang lebih ketat.

Kejaksaan Agung, melalui kajian yang saat ini dilakukan, berharap dapat mengidentifikasi secara lebih mendalam ruang hukum yang masih tersedia bagi penegakan keadilan, terutama dalam mencegah BUMN menjadi tempat penyalahgunaan dana publik yang terselubung.

Halaman Selanjutnya

Harli menambahkan, keberadaan unsur keuangan negara dalam suatu kegiatan BUMN bisa menjadi dasar awal bagi aparat penegak hukum untuk melakukan investigasi lebih lanjut, terlepas dari status penyelenggara negara atau tidaknya individu yang terlibat.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |