Jakarta, VIVA – Boeing berhasil menghindari persidangan pidana terkait dua kecelakaan 737 MAX yang menewaskan 346 orang pada tahun 2018 dan 2019 melalui kesepakatan penyelesaian dengan Departemen Kehakiman Amerika Serikat.
Kesepakatan Penyelesaian $1,1 Miliar
Dilansir Aviationa2z, Senin 26 Mei 2025, pabrikan dirgantara ini setuju untuk membayar lebih dari $1,1 miliar (Rp17 triliun) sesuai dengan syarat-syarat penyelesaian yang diajukan di pengadilan federal pada Jumat (23 Mei 2025). Dalam kesepakatan ini, Boeing juga harus menyediakan tambahan sebesar $445 juta (Rp7,1 triliun) khusus untuk keluarga korban kecelakaan sebagai bagian dari paket yang lebih luas.
Detail Kasus
Boeing dituduh telah menyesatkan regulator FAA mengenai aspek kritis dari 737 MAX sebelum sertifikasi penerbangan. Perusahaan ini menyembunyikan informasi tentang sistem perangkat lunak baru yang disebut MCAS dari maskapai dan pilot. Sistem ini dapat memaksa hidung pesawat turun tanpa input pilot saat sensor mendeteksi kemungkinan stall aerodinamis.
Kedua kecelakaan terjadi dalam waktu lima bulan di Indonesia dan Ethiopia setelah pembacaan sensor yang salah memicu MCAS, mendorong hidung pesawat turun sementara pilot berjuang untuk mendapatkan kontrol kembali. Otoritas penerbangan menggantungkan pesawat Max di seluruh dunia sampai Boeing mendesain ulang MCAS untuk menggunakan sensor ganda dan mengurangi daya sistem.
Tim SAR gabungan mengangkat ban Pesawat Lion Air JT610 ke atas Kapal Baruna Jaya I di Perairan Karawang, Jawa Barat, Minggu, 4 November 2018.
Photo :
- ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Seperti diketahui, pesawat milik maskapai Lion Air dengan nomor penerbangan JT-610 jatuh pada 29 Oktober 2018. Pesawat jenis Boeing 737 MAX 8 ini mengangkut 189 orang, termasuk 181 penumpang dan 8 awak kabin, dalam penerbangan dari Bandara Internasional Soekarno–Hatta, Tangerang menuju Bandara Depati Amir di Pangkal Pinang. Sayangnya, hanya beberapa menit setelah lepas landas, pesawat kehilangan kontak dan jatuh di perairan Laut Jawa, tepatnya di wilayah Tanjung Pakis, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Tidak ada satu pun yang selamat dari insiden ini.
Pada 25 Oktober 2019, hampir setahun setelah insiden, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) resmi merilis laporan investigasi final. Temuan tersebut menyebutkan bahwa kecelakaan disebabkan oleh kombinasi cacat desain sistem MCAS (Maneuvering Characteristics Augmentation System) pada Boeing 737 MAX serta pemeliharaan yang tidak memadai oleh pihak maskapai.
Yang lebih mengejutkan, dalam laporan disebutkan bahwa pilot tidak dibekali informasi atau pelatihan mengenai MCAS, karena sistem ini tidak dicantumkan dalam buku panduan penerbangan. Akibatnya, saat sistem MCAS mengarahkan hidung pesawat turun berdasarkan pembacaan sensor yang salah, para pilot tidak memahami cara menanganinya secara tepat.
Petugas memeriksa turbin pesawat Lion Air JT 610 di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Minggu, 4 November 2018.
Photo :
- ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Reaksi Hukum Sebelumnya dan Kesepakatan Baru
Awalnya, Departemen Kehakiman menuduh Boeing pada tahun 2021 atas penipuan terhadap regulator FAA mengenai perangkat lunak yang tidak diungkapkan dan persyaratan pelatihan pilot. Jaksa setuju untuk menangguhkan penuntutan jika Boeing membayar penyelesaian sebesar $2.5 miliar, termasuk denda $243.6 juta, dan menerapkan langkah-langkah kepatuhan anti-penipuan selama tiga tahun.
Jaksa federal menyatakan bahwa Boeing melanggar syarat kesepakatan tahun 2021 dengan tidak menerapkan perubahan deteksi dan pencegahan penipuan yang dijanjikan. Boeing setuju untuk mengaku bersalah atas tuduhan penipuan jenayah pada bulan Juli untuk menghindari persidangan publik.
Penolakan Pengadilan dan Kesepakatan Baru
Hakim Distrik AS Reed O'Connor menolak kesepakatan kesepakatan pada bulan Desember, dengan alasan kekhawatiran tentang kebijakan keanekaragaman, inklusi, dan keadilan yang dapat mempengaruhi pemilihan monitor kepatuhan berdasarkan ras.
Penyelesaian baru ini mensyaratkan Boeing untuk mempertahankan "konsultan kepatuhan independen" yang akan merekomendasikan perbaikan dan melaporkan temuannya kepada pemerintah sebagai pengganti pengaturan pemantauan yang sebelumnya diusulkan.
Tanggapan Keluarga Korban
Anggota keluarga korban kecelakaan menyatakan reaksi campuran terhadap penyelesaian yang diajukan. Pengacara Paul Cassell, yang mewakili beberapa keluarga, menyebut kesepakatan non-penuntutan sebagai "tidak precedented dan salah untuk kejahatan korporasi paling mematikan dalam sejarah Amerika Serikat." Keluarga berencana untuk mengajukan keberatan terhadap kesepakatan ini dan mendesak pengadilan untuk menolaknya.
Javier de Luis, yang saudarinya Graziella meninggal dalam kecelakaan Ethiopia, mengkritik Departemen Kehakiman atas pengabaian terhadap keadilan bagi korban. Dia berargumen bahwa penyelesaian ini mengirimkan pesan berbahaya kepada korporasi bahwa pelanggaran keselamatan hanya berdampak finansial minimal.
Posisi Pemerintah AS
Boeing menolak untuk memberikan komentar atas pengumuman penyelesaian ini pada hari Jumat pekan lalu. Pejabat Departemen Kehakiman membela kesepakatan sebagai resolusi yang paling tepat mengingat fakta, hukum, dan kebijakan departemen yang berlaku. Jaksa menekankan bahwa kesepakatan ini memberikan akuntabilitas keuangan, kompensasi bagi keluarga, dan langkah-langkah keamanan penerbangan yang ditingkatkan sambil mengakui bahwa tidak ada penyelesaian yang dapat mengembalikan kehidupan korban.
Halaman Selanjutnya
Seperti diketahui, pesawat milik maskapai Lion Air dengan nomor penerbangan JT-610 jatuh pada 29 Oktober 2018. Pesawat jenis Boeing 737 MAX 8 ini mengangkut 189 orang, termasuk 181 penumpang dan 8 awak kabin, dalam penerbangan dari Bandara Internasional Soekarno–Hatta, Tangerang menuju Bandara Depati Amir di Pangkal Pinang. Sayangnya, hanya beberapa menit setelah lepas landas, pesawat kehilangan kontak dan jatuh di perairan Laut Jawa, tepatnya di wilayah Tanjung Pakis, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Tidak ada satu pun yang selamat dari insiden ini.