Jepang, VIVA – Jepang kini sedang menghadapi tantangan besar, dunia semakin ketagihan dengan matcha, tapi produksinya tidak bisa mengejar permintaan global yang melonjak tajam. Matcha, bubuk teh hijau asal Jepang yang terkenal dengan manfaat kesehatannya, makin digemari di seluruh dunia. Namun, tren ini justru membuat industri teh Jepang kewalahan.
Sejak tahun lalu, permintaan global terhadap matcha melonjak drastis. Banyak perusahaan teh ternama di Kyoto seperti Ippodo dan Marukyu Koyamaen bahkan membatasi pembelian karena persediaan terbatas. Di berbagai toko, produk matcha tertentu ludes terjual, bahkan untuk konsumen lokal sekalipun.
Yang paling langka adalah matcha “first flush”, yaitu bubuk teh dari panen pertama daun teh Camellia sinensis. Dahulu, jenis ini hanya digunakan untuk upacara minum teh, tapi sekarang menjadi favorit untuk konsumsi sehari-hari di banyak negara. Sayangnya, panen hanya terjadi satu kali dalam setahun, sehingga stoknya sangat terbatas.
Meski begitu, permintaan tak hanya terbatas pada matcha premium. Jenis lainnya pun diburu pembeli dari berbagai belahan dunia. Salah satu produsen, Kametani Tea dari Prefektur Nara, bahkan harus meningkatkan produksi 10% setiap tahun sejak 2019 untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Jason Eng dari Kametani mengatakan mereka kini harus bekerja lembur, bahkan di akhir pekan. Tapi itu belum cukup. “Permintaan begitu besar, kami benar-benar ditekan dari segala arah,” ujarnya yang dilansir dari The Japan Times pada Senin, 5 Mei 2025.
Meski panen tahun 2025 diharapkan bisa sedikit meredakan situasi, itu bukan solusi jangka panjang. Menurut Fumi Ueki dari perusahaan teh terbesar Jepang, Ito En, konsumsi matcha global mencapai rekor tertinggi tahun lalu. Jika tren ini terus berlanjut, industri teh Jepang perlu melakukan banyak perubahan.
Salah satu penyebab melonjaknya popularitas matcha adalah meningkatnya kesadaran akan gaya hidup sehat sejak pandemi. Matcha dikenal kaya antioksidan dan memberikan energi tanpa rasa gelisah seperti kafein dari kopi. Selain itu, konten media sosial seperti video resep matcha latte turut mempopulerkannya di wilayah yang sebelumnya tidak mengenal matcha, seperti Timur Tengah dan Afrika.
Sayangnya, meningkatkan produksi matcha bukan perkara mudah. Daun tencha, bahan baku matcha, butuh waktu lima tahun untuk tumbuh sempurna. Proses penggilingan pun lambat, satu mesin batu hanya bisa menghasilkan sekitar 40 gram per jam.
Masalah lainnya adalah krisis petani teh. Jumlahnya menyusut tajam, dari 53.000 orang pada tahun 2000 menjadi sekitar 12.000 pada 2020. Banyak yang menua dan tidak ada penerus. Selain itu, beralih dari teh biasa ke matcha memerlukan investasi besar dan pengetahuan baru, yang dianggap berisiko oleh sebagian petani.
Namun, ada secercah harapan. Pemerintah Jepang mulai mempertimbangkan perubahan kebijakan untuk mendukung produksi tencha. Bantuan dana dan subsidi sedang dipertimbangkan agar petani mau beralih.
Bagi produsen seperti Yamasan, cara bertahan adalah dengan mencari pemasok dari berbagai wilayah. Ketika stok habis dari satu petani, mereka masih bisa mengandalkan petani lainnya.
Walau penuh tantangan, permintaan terhadap matcha tampaknya belum akan surut dalam waktu dekat. Bahkan, Kametani memperkirakan permintaan pada 2025 bisa meningkat 20–30% dibanding tahun sebelumnya.
"Ini akan jadi tahun yang menegangkan," kata Eng. “Belum sampai kehabisan, tapi musim gugur nanti akan jadi momen kritis.”
Halaman Selanjutnya
Sayangnya, meningkatkan produksi matcha bukan perkara mudah. Daun tencha, bahan baku matcha, butuh waktu lima tahun untuk tumbuh sempurna. Proses penggilingan pun lambat, satu mesin batu hanya bisa menghasilkan sekitar 40 gram per jam.