Jakarta, VIVA – Menteri Perdagangan Budi Santoso mengungkapkan total ekspor furnitur ke Amerika Serikat (AS) sebesar US$1,64 miliar, dengan pangsa pasar sebesar 5,57 persen saat ini. Pemerintah pun saat ini tengah melakukan negosiasi dengan AS agar tarif resiprokal bisa dihapuskan, sehingga tidak membebani produk furnitur yang akan diekspor ke Negeri Paman Sam.
Budi mengatakan, dengan RI terkena tarif resiprokal sebesar 32 persen, ekspor Indonesia akan lebih besar dari tarif itu. Sebab, untuk setiap produk furnitur yang akan di ekspor ke AS akan terkena bea masuk 3 persen. Artinya, bila tarif itu diimplementasikan, ekspor furniture akan terkena tarif 35 persen.
Namun, dengan penundaan sementara tarif resiprokal selama 90 hari, tarif yang berlaku saat ini ke Indonesia hanya sebesar 10 persen. Pemerintah saat ini juga tengah melakukan negosiasi dengan pemerintah AS.
"Furnitur itu kan 3 persen, itu kalau ditambahkan resiprokal 32 ya berarti jadi 35 sebenarnya. Makanya kita minta supaya resiprokalnya hilang, kalau resiprokal hilang berarti kan tetap 3 persen. Sekarang selama 90 hari hanya dikenakan baseline 10 persen," ujar Budi dalam launching Indonesia International Furniture Expo 2026 Rabu, 21 Mei 2025.
Menteri Perdagangan (Mendag), Budi Santoso
Photo :
- VIVA.co.id/Anisa Aulia
Budi melanjutkan, pada tahun 2024 Indonesia merupakan eksportir furnitur nomor 20 terbesar di dunia. Tercatat nilainya mencapai US$2,43 miliar."Jangan senang kalau besar. Jadi kalau bisa ya 10, jangan 20," jelasnya.
Budi menjelaskan, saat ini tengah mempelajari permasalahan agar ekspor furnitur Indonesia bisa naik. Salah satunya, dengan melakukan deregulasi ekspor, termasuk deregulasi kemudahan berusaha di bidang perdagangan.
"Nah deregulasi ekspor kita kemarin sudah diskusi dengan teman-teman asosiasi kemudian juga dengan kehutanan. Kita sih pinginnya sebenarnya kalau produk turunan dari kayu seperti furnitur dan kerajinan itu nggak perlu V-legal," jelasnya.
Budi mengatakan, V-legal untuk produk turunan dari kayu turunan direncanakan hanya bila barang tersebut diekspor ke Inggris dan Uni Eropa, bukan untuk ke semua negara.
Menteri Perdagangan (Mendag), Budi Santoso
Photo :
- VIVA.co.id/Anisa Aulia
Adapun V-legal merupakan dokumen yang digunakan sebagai persyaratan penyampaian pemberitahuan ekspor barang bagi eksportir produk perkayuan sesuai dengan ketentuan perundangan.
"V-legal boleh, tapi hanya untuk negara yang membutuhkan misalnya UK sama Uni Eropa, Inggris sama Uni Eropa. Itu kan yang membutuhkan sekarang. Tapi ke negara lain sih kami mengusulkan sebaiknya nggak perlu V-legal, kecuali untuk produk-produk kayu oke lah, SPLK harus ada ya.Kan itu mungkin rentan juga dengan tunjuk depan," imbuhnya.
Halaman Selanjutnya
"Nah deregulasi ekspor kita kemarin sudah diskusi dengan teman-teman asosiasi kemudian juga dengan kehutanan. Kita sih pinginnya sebenarnya kalau produk turunan dari kayu seperti furnitur dan kerajinan itu nggak perlu V-legal," jelasnya.