Jakarta, VIVA – Kementerian Keuangan Republik Indonesia bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia tengah mempersiapkan pembentukan Komite Keuangan Berkelanjutan (Sustainable Finance Committee/SFC/Komite), sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023.
Saat ini, peraturan pemerintah sebagai dasar pelaksanaan tengah disusun. Green Finance Institute (GFI) lembaga keuangan global yang diakui secara internasional sebagai pakar keuangan hijau dengan dukungan dari program Financial Services Centres of Expertise milik Kantor Luar Negeri, Persemakmuran dan Pembangunan Inggris (FCDO UK), telah memainkan peranan yang strategis di Indonesia melalui kerja sama dengan Kementrian Keuangan untuk menyusun Kertas Putih (White Paper).
Dokumen ini mengusulkan struktur tata kelola Komite Keuangan Berkelanjutan serta menjabarkan peran penting yang dapat dimainkan Komite tersebut dalam mendorong pembiayaan proyek-proyek berkelanjutan di Indonesia.
Kertas Putih yang didiseminasikan pada Hari Jumat, 9 Mei 2025 di Jakarta kepada para pemangku kepentingan dalam ekosistem keuangan berkelanjutan Indonesia ini menyampaikan usulan-usulan mengenai struktur kelembagaan Komite guna memperkuat koordinasi dan mendorong agenda nasional keuangan berkelanjutan.
Hal ini dilakukan dengan tujuan utama untuk meningkatkan kepercayaan investor dan membuka aliran modal dalam skala yang lebih besar untuk berbagai inisiatif dekarbonisasi.
Indonesia saat ini berada pada titik yang sangat penting dalam transisi keuangan berkelanjutan, yang menuntut keseimbangan antara tujuan-tujuan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan penciptaan lapangan kerja dengan komitmen internasionalnya terhadap penanggulangan perubahan iklim.
Meskipun telah ada kemajuan, kesenjangan pembiayaan iklim yang sangat besar masih menjadi tantangan. Berdasarkan Laporan Climate Budget Tagging (CBT) yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan untuk periode 2018–2023, alokasi anggaran tahunan rata-rata untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan iklim hanya sekitar 3,2% dari APBN, atau setara dengan Rp 89,2 triliun (sekitar US$ 5,9 miliar) per tahun.
Hingga tahun 2023, total belanja publik untuk inisiatif iklim mencapai Rp 702,9 triliun (US$46,9 miliar). Namun demikian, kontribusi publik ini hanya mencakup 16,4% dari total investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, sehingga masih terdapat kekurangan sebesar 83,6% yang diharapkan dapat dipenuhi melalui pembiayaan swasta dan internasional (Kemenkeu, 2025).
“Mengingat kesenjangan yang signifikan ini, mobilisasi investasi sektor swasta menjadi sangat krusial,” tegas Dr. Adi Budiarso, Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan.
“Indonesia menghadapi tantangan yang sangat besar dalam menjaga pertumbuhan ekonomi sekaligus membangun ketahanan iklim dan memenuhi komitmen NDC-nya. Skala investasi yang dibutuhkan jauh melampaui kapasitas pembiayaan publik. Modal swasta siap tersedia, namun kita perlu menghapus hambatan yang menghalangi penggalangan modal tersebut. GFI berfokus untuk memperkuat strategi investasi publik dan merancang kerangka kebijakan yang mampu memobilisasi miliaran dolar yang dibutuhkan untuk membangun ekonomi yang tangguh dan nol emisi karbon,” ujar Simon Horner, Managing Director Green Finance Institute.
Sebelum menyusun Kertas Putih ini, GFI telah melakukan studi pada tahun 2024 berjudul Investors’ View on Sustainable Finance in Indonesia.
Tujuan dari studi tersebut adalah untuk memberikan panduan bagi Kementerian Keuangan dalam upaya memobilisasi pembiayaan iklim dari sektor swasta. Laporan tersebut menyoroti berbagai hambatan utama investasi swasta serta mengusulkan reformasi tata kelola dan kelembagaan untuk mengatasinya.
Studi ini menjadi rujukan utama bagi Kertas Putih, dengan membangun kerangka kerja untuk menyelaraskan kebijakan, regulasi, pembiayaan pembangunan, dan pengembangan proyek, serta menunjukkan bagaimana Komite dapat dirancang untuk meningkatkan kepercayaan investor.
Rekomendasi utama dalam Kertas Putih mencakup pembentukan platform investasi, yang memungkinkan investor swasta terlibat lebih efektif, mendapatkan visibilitas yang lebih baik terhadap jalur investasi, serta mengakses dukungan kebijakan dan peluang pembiayaan campuran (blended finance).
Sektor swasta tersebut dalam hal ini mencakup perbankan, investor, lembaga keuangan, pelaku industri, serta para pengembang proyek.
Melalui Komite, proyek-proyek hijau dapat dipercepat, dengan tujuan memperkuat sinergi antara pemangku kepentingan publik dan pemangku kepentingan swasta serta meningkatkan kesadaran mengenai peluang investasi dalam dekarbonisasi.
Untuk mendukung pengembangan keuangan berkelanjutan, GFI juga bekerja sama secara paralel dengan PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI)—Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah Kementerian Keuangan yang memiliki peran sentral dalam mendukung transisi energi berkelanjutan di Indonesia. PT SMI menjadi katalis dalam pembangunan infrastruktur, termasuk di sektor energi terbarukan.
Dr. Adi Budiarso, Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK) Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, kembali menegaskan: “Meskipun kemajuan terus berlangsung, tantangan besarnya tetap ada, yakni kesenjangan pembiayaan yang sangat besar. Berdasarkan Climate Budget Tagging (CBT) Kementerian Keuangan untuk periode 2018–2023, alokasi tahunan rata-rata untuk program terkait iklim hanya sekitar 3,2% dari APBN, setara dengan Rp 89,2 triliun (sekitar US$ 5,9 miliar) per tahun.
Hingga 2023, total belanja publik di bidang ini telah mencapai Rp 702,9 triliun (US$ 46,9 miliar). Namun, angka ini hanya mencakup 16,4% dari total investasi yang dibutuhkan untuk memenuhi target NDC Indonesia, dengan 83,6% sisanya diharapkan berasal dari sumber pembiayaan swasta dan internasional (Kemenkeu, 2025).
Mengingat besarnya kesenjangan ini, penggalangan investasi sektor swasta menjadi sangat penting. Dalam konteks ini, inisiatif GFI memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya Indonesia.”
Rachel Kyte, Perwakilan Khusus dari Inggris untuk Perubahan Iklim, mengatakan, “Penggalangan modal swasta dalam skala besar sangat penting untuk mengatasi krisis iklim yang mendesak dan membangun ekonomi serta masyarakat yang tangguh.
Langkah Pemerintah Indonesia dalam membentuk Komite Keuangan Berkelanjutan merupakan langkah yang sangat penting. Green Finance Institute membantu mewujudkan ambisi ini, dan pemerintah Inggris dengan senang hati mendukung pekerjaan mereka, yang melengkapi kemitraan kami yang lebih luas dengan pemerintah Indonesia dalam agenda keuangan berkelanjutan.
Dengan memperkuat tata kelola dan menciptakan jalur yang jelas untuk investasi, Indonesia mengirimkan sinyal yang kuat kepada investor di seluruh dunia bahwa Indonesia serius dalam membangun ekonomi yang tangguh dan rendah karbon. Inggris siap mendukung Indonesia dalam mewujudkan visi ini.
Halaman Selanjutnya
Hingga tahun 2023, total belanja publik untuk inisiatif iklim mencapai Rp 702,9 triliun (US$46,9 miliar). Namun demikian, kontribusi publik ini hanya mencakup 16,4% dari total investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, sehingga masih terdapat kekurangan sebesar 83,6% yang diharapkan dapat dipenuhi melalui pembiayaan swasta dan internasional (Kemenkeu, 2025).