Jakarta, VIVA – Indonesia masih memiliki banyak kendala dalam pengelolaan sampah plastik, salah satunya keterbatasan data yang menyulitkan perumusan dan pelaksanaan kebijakan yang tepat sasaran. Keterbatasan data juga masih menjadi kendala dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan yang tepat sasaran.
Sejumlah tantangan yang dihadapi industri daur ulang di dalam negeri meliputi konektivitas infrastruktur pengumpulan yang belum merata, ketidakseimbangan geografis, dampak fluktuasi harga plastik global. Di samping itu, kebiasaan masyarakat yang ketergantungan pada impor plastik hingga kesulitan dalam mendaur ulang jenis plastik tertentu menghambat proses daur ulang.
Sustainable Waste Indonesia (SWI) bersama Indonesian Plastic Recyclers (IPR) menyusun studi RRI untuk memberikan landasan berbasis data, yaitu Studi Recycling Rate Index (RRI). Dalam laporan tersebut menunjukkan data terkini tentang capaian daur ulang sampah plastik nasional.
"Kami percaya data yang akurat sangat krusial untuk memahami kondisi nyata di lapangan dan menjadi dasar bagi kebijakan yang lebih tepat" ujar Director SWI dan peneliti utama Dini Trisyanti, dikutip dari keterangan resmi pada Rabu, 30 April 2025.
Penelitian dilakukan selama periode Juli hingga Desember 2024 dengan pendekatan hulu-hilir, metode pengumpulan data melalui wawancara terhadap 700 pelaku rantai nilai plastik serta data sekunder berdasarkan data pemerintah, BPS, dan literatur.
Salah satu temuan dari studi ini menunjukkan kinerja daur ulang plastik di Indonesia cukup baik. Di mana tingkat daur ulang plastik total dari sampah pasca konsumsi (PCR) yang tergolong moderat. Sementara itu, tingkat daur ulang sampah PCR termasuk tinggi untuk PET botol di 71 persen dan HDPE rigid di 60 persen.
Dini memaparkan, studi RRI juga menunjukkan kontribusi daur ulang plastik dalam produksi resin plastik sebesar 19 persen dengan total nilai ekonomi mulai dari pengumpulan, agregasi hingga daur ulang plastik setidaknya mencapai Rp 19 triliun per tahun. Melihat dampak perekonomian dan pentingnya peran daur ulang plastik dalam pengelolaan sampah, diperlukan kolaborasi aktif lintas sektor.
"Termasuk edukasi konsumen dalam memilah sampah dari sumber, transparansi pelaporan daur ulang secara nasional, serta inovasi teknologi untuk mendorong daur ulang plastik," imbuh Dini.
Deputi Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Drs. Ade Palguna Ruteka, sepakat bahwa studi yang dijalankan oleh SWI tidak hanya melengkapi upaya yang telah dilakukan pemerintah, tetapi juga memberikan wawasan tambahan melalui hasil identifikasi dan analisa yang komprehensif. Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas pemangku kepentingan sebagai kunci untuk mewujudkan sistem pengelolaan sampah yang inklusif dan berkelanjutan.
Ilustrasi sampah plastik.
Photo :
- VIVA/Syahdan Nurdin
Ade menyampaikan pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional menargetkan penyelesaian 100 persen permasalahan sampah pada tahun 2029. Untuk mencapai target ambisius tersebut, telah disiapkan berbagai strategi pengurangan dan penanganan sampah, termasuk mendorong penerapan prinsip ekonomi sirkular dalam sistem daur ulang serta mendorong produsen untuk menerapkan Extended Producer Responsibility (EPR).
"Tentunya, target ini tidak akan tercapai tanpa dukungan dari seluruh sektor,” tegas Ade.
Diskusi turut dihadiri beberapa perwakilan dari industri yang menghasilkan produk dengan kemasan berbahan plastik, seperti Unilever Indonesia, Nestlé Indonesia dan AQUA. Ketiganya menegaskan komitmen perusahaan masing-masing untuk mengambil peran aktif dalam menangani sampah plastik di seluruh rantai bisnisnya.
Public Affairs and Sustainability Director AQUA, Astri Wahyuni, memaparkan saat ini sekitar 75 persen produk AQUA sudah sirkular melalui galon guna ulang. Lebih dari 96 persen kemasan dapat didaur ulang dan seluruh produk mengandung hingga 25% material daur ulang. AQUA juga membangun berbagai infrastruktur daur ulang, mulai dari bank sampah hingga Recycling Business Unit (RBU).
Head of Division Environment & Sustainability Unilever Indonesia Foundation, Maya Tamimi, menyampaikan perusahaan akan mengambil peran aktif dalam menangani sampah plastik di seluruh rantai nilai bisnisnya. Unilever Indonesia memiliki fokus yang kuat, jelas, terukur, dan sejalan dengan program pemerintah dalam hal pengurangan serta pengelolaan sampah plastik.
Pada tahun 2024, Unilever Indonesia telah mengumpulkan dan mengelola 90,000 ton sampah plastik, lebih banyak dari yang digunakan untuk menjual produk-produknya. Upaya ini dicapai melalui jaringan bank sampah binaan, pengepul, TPS3R, dan Refuse-Derived Fuel (RDF).
“Kami percaya kolaborasi adalah kunci menuju masa depan yang bebas sampah,” tegasnya.
Sustainability Delivery Lead Nestlé Indonesia, Maruli Sitompul, mengungkapkan langkah-langkah konkret yang telah diambil perusahaan dalam mengatasi pengelolaan sampah. Perusahaan beralih menggunakan sedotan kertas di seluruh RTD (ready-to-drink) dan mendesain kemasan menjadi kemasan daur ulang (monomaterial packaging).
Selain itu, Nestlé Indonesia juga melakukan pengumpulan sampah plastik sejumlah kemasan plastik yang mereka produksi/pakai. Untuk ini, mereka bekerja dengan para pengepul, pendaur ulang, dan TPS3R. Nestlé Indonesia juga mendukung infrastruktur pengelolaan sampah dengan 10 MRF/TPS3R di Karawang melalui kolaborasi dengan KSM Sahabat Lingkungan dan pemerintah lokal. TPS3R ini mampu melayani hingga 6,000 rumah tangga di sekitar Karawang.
Halaman Selanjutnya
Dini memaparkan, studi RRI juga menunjukkan kontribusi daur ulang plastik dalam produksi resin plastik sebesar 19 persen dengan total nilai ekonomi mulai dari pengumpulan, agregasi hingga daur ulang plastik setidaknya mencapai Rp 19 triliun per tahun. Melihat dampak perekonomian dan pentingnya peran daur ulang plastik dalam pengelolaan sampah, diperlukan kolaborasi aktif lintas sektor.