Jakarta, VIVA – Ketegangan dagang kembali mencuat di kawasan Asia Tenggara usai Presiden Amerika Serikat Donald Trump resmi menerapkan kebijakan tarif impor yang tajam terhadap sejumlah negara. Tak hanya memukul ekspor, langkah ini juga memaksa negara-negara ASEAN bersatu mencari jalan keluar yang strategis dan diplomatis.
Malaysia, sebagai Ketua ASEAN tahun ini, memilih tampil di garis depan. Dalam pernyataan terbarunya, Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Anwar Ibrahim, mengatakan bahwa negaranya akan memimpin upaya koordinasi regional untuk merespons kebijakan tarif Trump.
“Malaysia, sebagai Ketua ASEAN, akan memimpin upaya untuk menghadirkan sikap regional yang bersatu, menjaga rantai pasok tetap terbuka dan tangguh, serta memastikan suara kolektif ASEAN terdengar jelas dan tegas di panggung internasional,” ujar Anwar, seperti dikutip dari The Straits Times, Senin, 7 April 2025.
Anwar juga menyebutkan bahwa dirinya telah berbicara dengan Perdana Menteri Vietnam, Pham Minh Chinh, mengenai hal ini. Presiden RI, Prabowo Subianto, juga telah bertemu Anwar untuk membahas kebijakan tarif Trump tersebut.
Negara-negara ASEAN, yang terdiri dari 10 negara, menjadi salah satu kawasan yang paling terdampak oleh tarif impor baru dari pemerintahan Trump. Vietnam dan Kamboja, dikenakan tarif sebesar 46 persen dan 49 persen, sementara Malaysia terkena tarif 24 persen.
VIVA Militer: Presiden Amerika Serikat, Donald Trump
Berbeda dengan beberapa negara yang memilih 'balas dendam', Malaysia menyatakan tidak akan melakukan tindakan balasan. Namun, tetap menginginkan dialog yang konstruktif.
“Kami menolak klaim pemerintahan Trump yang menyebutkan Malaysia mengenakan tarif 47 persen terhadap barang-barang dari AS,” kata Anwar.
Dia juga menambahkan bahwa pemerintah Malaysia telah membentuk pusat komando geo-ekonomi untuk menghadapi situasi ini dan sudah mulai melakukan pendekatan ke pihak AS guna menemukan solusi yang dapat diterima bersama.
“Tanggapan Malaysia akan tenang, tegas, dan berpijak pada kepentingan nasional,” tegasnya.
Meskipun menolak kemungkinan resesi akibat kebijakan ini, Anwar mengakui bahwa pemerintah mungkin akan meninjau ulang target pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) untuk tahun 2025 jika tarif mulai berlaku efektif pada 9 April.
“Kita harus menyadari bahwa gelombang tarif besar-besaran kali ini bisa jadi hanyalah awal dari tantangan eksternal yang lebih besar ke depannya,” ungkap Anwar.
Halaman Selanjutnya
“Kami menolak klaim pemerintahan Trump yang menyebutkan Malaysia mengenakan tarif 47 persen terhadap barang-barang dari AS,” kata Anwar.