Mataram, VIVA – Polemik di tubuh Yayasan Rumah Sakit Islam (RSI) NTB terus menuai perhatian publik. Kali ini, Pengamat Kebijakan Publik UIN Mataram, Prof. Dr. Winengan, memberikan pandangannya terkait tata kelola yayasan yang menjadi sorotan masyarakat.
Menurutnya, kesalahan dalam memisahkan peran dan fungsi di dalam yayasan bisa memicu ketegangan dan penolakan dari masyarakat.
"Kalau pengelolaan institusi ya berbasis yayasan itu, jadi harus dipilah perannya. Yayasan itu tugasnya, saya bilang itu tadi, membuat regulasi dan mengontrolnya. Manajemennya itu melaksanakan dari regulasi yang sudah dibuat yayasan," kata Winengan saat dimintai tanggapan soal konflik internal Yayasan RSI NTB, Rabu 21 Mei 2025.
Winengan menambahkan bahwa dalam penyusunan kebijakan, partisipasi dari pihak-pihak yang berkepentingan tidak bisa diabaikan. Ia menegaskan pentingnya melibatkan stakeholder agar yayasan tidak berjalan secara sepihak.
"Cuman dalam proses penyusunan, regulasi atau kebutuhan itu memang harus mengibatkan partisipasi dari pihak yang punya kepentingan dan kegunaan yayasan maupun institusi yang dibentuk oleh yayasan," ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti minimnya transparansi dalam pengambilan keputusan di sejumlah yayasan, termasuk dalam kasus RSI NTB. Ia memberikan analogi sistem ketatanegaraan untuk menjelaskan pentingnya pemisahan fungsi.
"Nanti intinya keterbukaan itu yang mana? Keterbukaan itu. Kalau nanti yang merencanakan, dia yang melaksanakan, dia yang mengawasi kan gak bisa. Ini kan contoh kecil ya. Kita mungkin bisa merujuk kepada sistem politik kan. Misalnya ada sebagai eksekutifnya, ada sebagai legislatifnya, ada judikatifnya. Kan begitu kan. Baru bisa ya hatinya berjalan dengan baik mengelolaan sebuah institusi. Negara ini kan sebuah institusi besar, kira-kira begitu. Tapi bisa kita ilustrasikan seperti itulah institusi yang dibentuk oleh yayasan itu," jelasnya.
Terkait aksi protes yang belakangan muncul dari masyarakat NTB terhadap pengelolaan yayasan, Prof. Winengan menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar jika memang tidak ada komunikasi dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan.
"Ya memang saya bilang tadi, ketika membuat sesuatu itu, masyarakat ya tadi dimintain lah. Aspirasi atau mungkin saran masukannya. Kemudian ketika tadi melakukan sesuatu, ada enggak ketentuan yang menjadi basis melakukan sesuatu tadi, Misalnya pemerintahan segala macam. Ada enggak ketentuannya Kan begitu. Kalau enggak ada ketentuan ya memang bersikap begitu," ujarnya.
Ia menyayangkan jika proses pengambilan keputusan dilakukan secara tiba-tiba tanpa sosialisasi terlebih dahulu kepada pihak-pihak terdampak. Hal tersebut, menurutnya, bisa memicu resistensi.
"Tapi kalau ketentuannya sudah ada, masyarakat dilibatkan dalam membuat ketentuan itu, kan bisa menghilangkan atau tidak menghindari terjadinya proses-proses itu," katanya.
Saat disinggung mengenai kebijakan yang berdampak langsung pada pegawai, ia menjelaskan bahwa semua kebijakan seharusnya disosialisasikan secara terbuka.
"Ya seandainya misalnya melakukan sesuatu itu kan perlu, tadi saya bilang jangan tiba-tiba. Selalu ada sosialisasi, argumentasi, apa gitu. Kadang-kadang bukan karena orangnya, bukan karena dia tidak mau, tapi karena enggak pernah disampaikan, enggak pernah disosialisasikan lebih dahulu," katanya.
Ia mencontohkan, protes sering kali muncul karena kebijakan yang dibuat tanpa proses komunikasi yang baik.
"Makanya dalam beberapa persoalan kebijakan, seringkali masyarakat itu memprotes sebuah keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau kebijakan yang dibuat oleh pemerintah di dalam pelaksanaannya. Kenapa, Karena tidak pernah ada komunikasi terlebih dahulu," katanya.
Sebagai ilustrasi, ia membandingkan dengan kasus penggusuran yang kerap memicu gejolak di masyarakat.
"Masyarakat misalnya paham bahwa itu enggak boleh. Misalnya kayak kasus pengusuran gitu. Masyarakat paham bahwa itu salah gitu kan. Cuman kenapa enggak dari sebelumnya gitu kan disampaikan bahwa akan melakukan ini loh pemerintah gitu kan. Kok tiba-tiba, Kan ada kesiapan masyarakat untuk mungkin ada inisiatif lain untuk menghadapi apa yang akan dilakukan oleh pemerintah tadi terkait dengan dampak-dampaknya," katanya.
Mengakhiri pernyataannya, Prof. Winengan menekankan bahwa komunikasi adalah kunci dalam pelaksanaan kebijakan, baik di pemerintahan maupun lembaga pendidikan.
"Ya timbul protes. Makanya di dalam mekanisme pelaksanaan kebijakan itu pentingnya tadi ya, ada pihak atau mungkin tadi pelaku kebijakan itu perlu ada komunikasi."
"Sama di kampus juga begitu. Misalnya kenaikan UKT tiba-tiba maksudnya itu disuruh bayar. Naik dari sebelumnya Kan marah sama siswa itu. Tapi kalau disampaikan bahwa mungkin tahun depan akan seperti ini terusnya dengan argumentasi bahwa, oh ini dasarnya, ini alasannya. Pihak kampus tidak menjadi, akhirnya itu menjadi sasaran," pungkasnya.
Latar Belakang Kasus
Sebelumnya, Polemik internal di tubuh Yayasan Rumah Sakit Islam (RSI) NTB terus menjadi sorotan publik. Konflik yang mencuat belakangan ini dipicu oleh dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh Ketua Yayasan serta sejumlah kebijakan kontroversial yang dinilai tidak transparan, sewenang-wenang, dan jauh dari prinsip good governance.
Masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat NTB Peduli merespons kondisi tersebut dengan menggelar aksi demonstrasi pada Senin, 19 Mei 2025. Mereka menuntut penonaktifan Ketua Yayasan RSI NTB, pelibatan audit independen, serta evaluasi menyeluruh terhadap penggunaan anggaran dan kebijakan yang diterapkan, termasuk permintaan pencopotan Rektor Institut Kesehatan (Inkes) Mataram yang dinilai tidak sejalan dengan core values pendidikan Yarsi.
Sengketa hukum antara Yayasan RSI NTB dan kontraktor Soenarijo terkait proyek renovasi gedung SDIT Yarsi Mataram senilai Rp11,2 miliar. Pada 11 Juni 2020, yayasan menandatangani kontrak dengan Soenarijo, namun pada 29 Juni 2021, pekerjaan dihentikan secara sepihak tanpa alasan force majeure, dan yayasan menunjuk kontraktor lain untuk melanjutkan proyek tersebut.
Soenarijo mengklaim telah menyelesaikan pekerjaan senilai Rp7,99 miliar, namun yayasan baru membayar sekitar Rp5,2 miliar, menyisakan utang sebesar Rp2,78 miliar. Gugatan yang diajukan Soenarijo pada 2021 berujung pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak peninjauan kembali dari yayasan, sehingga putusan Pengadilan Negeri Mataram yang mewajibkan yayasan membayar sisa utang menjadi berkekuatan hukum tetap .
Halaman Selanjutnya
"Nanti intinya keterbukaan itu yang mana? Keterbukaan itu. Kalau nanti yang merencanakan, dia yang melaksanakan, dia yang mengawasi kan gak bisa. Ini kan contoh kecil ya. Kita mungkin bisa merujuk kepada sistem politik kan. Misalnya ada sebagai eksekutifnya, ada sebagai legislatifnya, ada judikatifnya. Kan begitu kan. Baru bisa ya hatinya berjalan dengan baik mengelolaan sebuah institusi. Negara ini kan sebuah institusi besar, kira-kira begitu. Tapi bisa kita ilustrasikan seperti itulah institusi yang dibentuk oleh yayasan itu," jelasnya.