Soal Putusan MK Gratiskan Sekolah Swasta, DPR Pertanyakan Kesiapan Anggaran Pemerintah

1 day ago 3

Minggu, 1 Juni 2025 - 13:37 WIB

Jakarta, VIVA – Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024 mewajibkan pemerintah menggratiskan pendidikan wajib belajar sembilan tahun (SD-SMP) di sekolah negeri dan swasta. Anggota Komisi X DPR RI Fraksi Partai Golkar, Adde Rosi menyoroti implikasi putusan tersebut.  

Adde Rosi memahami semangat konstitusional putusan MK guna menghapus diskriminasi dan hambatan ekonomi, khususnya bagi peserta didik yang terpaksa ke sekolah swasta akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri.

“Kami mengapresiasi penegasan MK bahwa negara wajib memastikan tidak ada peserta didik yang terhambat akses pendidikan dasar hanya karena faktor ekonomi atau sarana,” ujarnya, di Jakarta, Minggu 1 Juni 2025.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah.

Photo :

  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

Namun, Adde menyoroti pada aspek pembiayaan. Dia mempertanyakan kesiapan anggaran pemerintah untuk mendukung putusan MK Nomor 3/PUU-XXII/2024 tersebut.

Sebab, mengacu pada data Kementerian Keuangan 2025 menunjukkan alokasi pendidikan APBN 2025 mencapai 20 persen atau Rp 724 triliun. Namun sebagian besar terserap untuk gaji guru, BOS, dan infrastruktur sekolah negeri. 

“Jika harus menanggung biaya operasional penuh sekolah swasta dasar-menengah juga, dari mana sumber tambahan anggarannya? Apakah pemerintah siap realokasi atau naikkan defisit di tengah program efisiensi?,” ucap Adde. 

Selain itu, sambung Adde, aspek lain dari kesiapan anggaran adalah perlunya penataan alokasi anggaran, sebagai salah satu contohnya adalah pengelolaan Perguruan Tinggi Kementerian Lembaga (PTKL), yang menghabiskan 39 perdrn dari total anggaran fungsi pendidikan dalam APBN 2025, sementara Kemendiktisaintek hanya mengelola 22 persen dari anggaran tersebut. 

“Ironisnya, jumlah mahasiswa di PTKL hanya sekitar 200 ribu, jauh lebih kecil dibandingkan mahasiswa di PTN (3,9 juta) dan PTS (4,4 juta). Penyelenggaraan PTKL saat ini tersebar di 24 kementerian dan lembaga dengan total 124 perguruan tinggi dan 892 program studi,” katanya.

Karena itu, menurut Adde, perlu penyederhanaan dan penataan sistem PTKL untuk memastikan tidak ada lagi pemborosan anggaran dan tumpang tindih kebijakan, agar hanya fokus pada pendidikan kedinasan. Program studi umum yang tidak sesuai dengan mandat Undang-undang harus dihapuskan karena bertentangan dengan Undang-undang.

Ia juga mengingatkan tantangan di APBD, mengutip laporan Kemendagri 2024 bahwa banyak daerah kesulitan memenuhi batas minimal 20 persen anggaran pendidikan akibat keterbatasan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Adde mengkhawatirkan kebijakan ini, jika tidak dirancang hati-hati, berpotensi mengurangi semangat gotong royong dan membebani negara secara finansial. Lebih lanjut, Adde mengatakan sekolah berbasis masyarakat ini turut memperkaya khazanah pendidikan nasional dengan kearifan lokal dan nilai keagamaan.

“Partisipasi aktif ormas seperti NU dan Muhammadiyah melalui ribuan sekolah swasta mereka adalah tulang punggung pendidikan Indonesia sejak pra-kemerdekaan,” tututnya.

Sebagai solusi, Adde Rosi merekomendasikan pendekatan kolaboratif. Dimana pemerintah bersama DPR perlu segera rumuskan payung hukum dan skema pendanaan operasional, berkelanjutan, dan adil.

Selain itu, kata Adde, rekomendasi yang perlu dilakukan yaitu reformulasi dan realokasi anggaran pendidikan prioritas. Memfokuskan bantuan penuh pada siswa miskin di sekolah swasta yang tidak tertampung di negeri, dan memperketat kriteria sekolah penerima bantuan penuh (akreditasi, biaya operasional riil, komposisi siswa tidak mampu).

Lalu, memperluas dan meningkatkan nilai BOS Afirmatif untuk sekolah swasta di daerah terpencil/berbasis siswa kurang mampu, serta membangun kemitraan sinergis dengan ormas pendidikan untuk rancang skema subsidi efektif tanpa mematikan inisiatif swadaya.

“Putusan MK adalah langkah maju untuk keadilan pendidikan. Tantangannya kini adalah implementasi cerdas, realistis, dan berkelanjutan tanpa abaikan peran vital masyarakat dan kesehatan fiskal negara. Komisi X DPR siap dorong dialog konstruktif,” ucapnya.

Halaman Selanjutnya

Selain itu, sambung Adde, aspek lain dari kesiapan anggaran adalah perlunya penataan alokasi anggaran, sebagai salah satu contohnya adalah pengelolaan Perguruan Tinggi Kementerian Lembaga (PTKL), yang menghabiskan 39 perdrn dari total anggaran fungsi pendidikan dalam APBN 2025, sementara Kemendiktisaintek hanya mengelola 22 persen dari anggaran tersebut. 

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |