Jakarta, VIVA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, realisasi pembiayaan utang pemerintah mencapai Rp 250 triliun hingga Maret 2025. Realisasi ini sebesar 40,6 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sebesar Rp 616,2 triliun.
Adapun realisasi pembiayaan utang ini naik 34,3 persen bila dibandingkan periode sama tahun lalu yang sebesar Rp 85,6 triliun. Peningkatan utang ini dijelaskannya, karena pemerintah melakukan front loading guna mengantisipasi dampak kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang dinilai akan menimbulkan banyak disrupsi.
“Jadi kalau kita melakukan front loading bukan karena kita tidak punya duit. Karena kita memang strategi dari issuance kita untuk mengantisipasi ketidakpastian yang pasti akan membuat kenaikan,” ujar Sri Mulyani dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden di Menara Mandiri Selasa, 8 April 2025.
Berdasarkan data paparannya, realisasi pembiayaan utang ini terdiri dari penerbitan surat berharga negara (SBN) neto sebesar Rp 270,4 triliun, atau mencapai 34,8 persen dari pagu Rp 775,9 triliun. Realisasi penerbitan SBN ini naik bila dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai Rp 105,6 triliun.
Lalu dari pinjaman neto sebesar Rp 12,3 triliun atau 9,2 persen dari pagu yang senilai Rp 133,3 triliun. Kemudian pembiayaan non utang mencapai Rp 20,4 triliun atau 12,8 persen dari pagu Rp 159,7 triliun.
“Jadi dalam hal ini kami ingin menyampaikan bahwa kita akan tetap menjaga APBN dan terutama utang dan juga defisit kita secara tetap prudent, transparan, hati-hati,” katanya.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani di Sarasehan Ekonomi 2025
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan Presiden Prabowo Subianto sudah menginstruksikan agar pemerintah melakukan negosiasi dengan AS atas pengenaan tarif impor 32 persen.
"Indonesia memilih jalur negosiasi karena Amerika merupakan mitra strategis, kemudian juga revitalisasi perjanjian perdagangan dan investasi dimana TIFA (Trade and Investment Framework Agreement) ini terakhir tahun 1996 jadi sudah menjadi tidak sudah obsolete perjanjian ini. Malaysia juga akan mendekati Indonesia melakukan perjanjian TIFA," ujar Airlangga dalam Sarasehan Ekonomi di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa, 8 April 2025.
Airlangga menjelaskan, relaksasi TKDN juga akan menjadi bagian dari negosiasi pemerintah dengan AS. Relaksasi ini akan diberikan untuk produk teknologi informasi dan komunikasi (information and communication technology/ICT).
"Diminta oleh Amerika, ICT untuk TKDN terutama dari investasi Amerika yang ada di Pulau Batam, dan sebetulnya Amerika juga memberikan keleluasaan untuk free trade zone. Jadi ini juga menjadi bahan untuk kita bernegosiasi karena mereka akan invest data center baik Oracle, Microsoft maupun terkait dengan trade," jelasnya.
Selain itu, pemerintah Indonesia akan melakukan negosiasi dengan meningkatkan impor dari AS terutama untuk produk agrikultur seperti kacang kedelai dan gandum.
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis, 20 Maret 2025
Photo :
- VIVA.co.id/Yeni Lestari
Airlangga mengatakan, hal ini dilakukan bercermin dari negosiasi yang ditawarkan Vietnam untuk memangkas tarif impor menjadi 0 persen dari AS ditolak oleh negara tersebut.
"Tetapi arahan Presiden Pak Prabowo bahwa kita akan meningkatkan produk dari Amerika terutama juga produk agrikultur yang kita tidak punya seperti soya bean dan wheat dari negara penghasil agrikultur yang kebetulan daerah ini adalah daerah konstituennya," jelasnya.
Selain itu, pemerintah juga akan meningkatkan impor engineering product dan meningkatkan impor minyak dan gas (migas) dari AS,
“Pembicaraan dengan Menteri ESDM sesuai arahan Pak Presiden, kita juga disiapkan untuk membeli LPG dan Liquefied Natural Gas (LNG) atau gas alam cair, agar ada peningkatan dari Amerika,” jelasnya.
Halaman Selanjutnya
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan Presiden Prabowo Subianto sudah menginstruksikan agar pemerintah melakukan negosiasi dengan AS atas pengenaan tarif impor 32 persen.