5 Fakta Kasus Dugaan Pelecehan Seksual oleh Dosen UIN Mataram yang Didampingi KSKS NTB

6 hours ago 3

Rabu, 21 Mei 2025 - 06:00 WIB

Mataram, VIVA – Sebuah kasus dugaan pelecehan seksual kembali mencuat dari dunia pendidikan tinggi. Kali ini, sejumlah mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram melaporkan salah satu dosennya atas tindakan tidak senonoh yang diduga berlangsung selama beberapa tahun. Laporan tersebut didampingi oleh Koalisi Stop Kekerasan Seksual (KSKS) NTB dan tengah menjadi sorotan publik, khususnya dalam konteks perlindungan mahasiswa dari kekerasan berbasis kuasa.

Berikut ini lima fakta menarik dan penting seputar kasus yang sedang dalam proses hukum tersebut:

1. Tiga Mahasiswi Sudah Melapor, Dua Lagi Segera Menyusul

Koalisi Stop Kekerasan Seksual (KSKS) NTB mengungkapkan bahwa sejauh ini tiga orang mahasiswi telah resmi melaporkan tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang dosen UIN Mataram. Tidak berhenti sampai di situ, dua korban tambahan dijadwalkan akan menyusul melakukan pelaporan pada Kamis (22 Mei 2025) mendatang.

Pernyataan ini disampaikan oleh perwakilan KSKS NTB, Joko Jumadi, yang mendampingi langsung para korban saat berada di Mapolda NTB, Mataram. Jumlah ini menunjukkan bahwa kasus tersebut kemungkinan lebih luas dari dugaan awal.

2. Total Korban Capai Tujuh Orang, Ada yang Masih Mahasiswi dan Ada Alumni

Ilustrasi pelecehan seksual

Photo :

  • VIVAnews/ Faddy Ravydera

Berdasarkan pendataan dari KSKS NTB, jumlah korban dari perilaku bejat dosen tersebut diperkirakan mencapai tujuh orang. Namun, hingga saat ini baru lima orang korban yang bersedia memberikan keterangan kepada pihak kepolisian, sementara dua lainnya masih dalam proses pendampingan.

Yang cukup mencengangkan, korban bukan hanya berasal dari kalangan mahasiswi aktif, tetapi juga melibatkan alumni. Hal ini menunjukkan bahwa praktik kekerasan seksual yang dilakukan dosen tersebut diduga telah berlangsung lama dan sistematis.

3. Kejadian Berlangsung Sejak 2021, Berlokasi di Asrama Putri

Dugaan pelecehan seksual ini dilaporkan terjadi sejak tahun 2021 hingga 2024, dan kebanyakan dilakukan pada malam hari. Tempat kejadiannya pun sangat sensitif, yakni di Asrama Putri UIN Mataram — sebuah lokasi yang seharusnya menjadi ruang aman bagi mahasiswi.

Dosen pelaku memanfaatkan jabatannya sebagai kepala asrama putri, memberikan dia akses penuh terhadap penghuni asrama. Modus ini menegaskan bagaimana kekuasaan struktural dapat dimanfaatkan untuk menekan korban.

4. Ancaman Dicabut Beasiswa Jadi Alasan Korban Takut Melawan

Ilustrasi pelecehan seksual.

Salah satu aspek memilukan dari kasus ini adalah adanya dugaan pemanfaatan status dosen oleh pelaku untuk menekan korban secara psikologis. Sebagian besar korban merupakan penerima beasiswa Bidikmisi, dan mereka merasa takut untuk menolak permintaan pelaku karena khawatir beasiswa tersebut akan dicabut.

Meski demikian, menurut penjelasan Joko Jumadi, belum ada korban yang mengalami tindakan pemerkosaan atau penetrasi, namun pelecehan yang dilakukan tetap masuk dalam kategori tindak cabul, yang secara hukum tetap tergolong tindak pidana serius.

5. Korban Berani Laporkan Berkat Dukungan Komunitas dan Film Inspiratif

Langkah korban untuk melaporkan kasus ini tidaklah mudah. Namun, keberanian mereka mulai tumbuh setelah mendapatkan dukungan dari KSKS NTB dan komunitas Sahabat Saksi dan Korban, yang aktif memberikan pendampingan hukum dan psikologis.

Yang cukup menarik, Joko menyebut bahwa beberapa korban terinspirasi dari film "Bidaah Walid", sebuah film bertema kekerasan seksual di institusi pendidikan, yang memotivasi mereka untuk bersuara dan melawan.

Sementara itu, pihak UIN Mataram melalui Kasubag Humas, Sapardi, menyatakan bahwa mereka belum menerima informasi resmi terkait laporan tersebut, sehingga belum bisa memberikan keterangan lebih lanjut. Pihak universitas masih menunggu konfirmasi internal sebelum mengambil langkah selanjutnya. (Antara)

Halaman Selanjutnya

Berdasarkan pendataan dari KSKS NTB, jumlah korban dari perilaku bejat dosen tersebut diperkirakan mencapai tujuh orang. Namun, hingga saat ini baru lima orang korban yang bersedia memberikan keterangan kepada pihak kepolisian, sementara dua lainnya masih dalam proses pendampingan.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |