Jakarta, VIVA – Di tengah meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang awal 2025, dunia usaha nasional menghadapi tekanan ganda akibat seruan boikot terhadap produk-produk yang diduga terafiliasi dengan Israel. Kondisi ini menimbulkan dilema besar, tak hanya bagi pelaku usaha tetapi juga bagi stabilitas ekonomi nasional dan jutaan pekerja di sektor terdampak.
Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengungkapkan lonjakan tajam angka PHK. Tercatat, jumlah tenaga kerja yang terkena PHK naik drastis dari 3.325 orang pada Januari 2025 menjadi 24.083 orang per April 2025. Sepanjang 2024, PHK telah mencapai angka 80.000 kasus—menandai tekanan struktural yang semakin kompleks dalam dunia ketenagakerjaan Indonesia.
Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Kemnaker, Anwar Sanusi, mengakui bahwa dinamika sosial seperti seruan boikot telah memperparah kondisi ketenagakerjaan.
“Dari perspektif ketenagakerjaan sendiri kita terus berupaya menjembatani hal ini, namun tentu tidak mudah,” ujarnya dalam keterangan tertulis, diterima Selasa 13 Mei 2026
Pemerintah saat ini tengah menjalin komunikasi lintas sektor untuk menyusun langkah mitigasi yang tidak hanya adil, tetapi juga tepat sasaran, dengan mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi yang luas.
Aksi boikot terhadap produk yang dianggap berafiliasi dengan Israel menjadi bentuk solidaritas terhadap Palestina. Namun, para ulama dari berbagai forum Bahtsul Masail menyerukan kehati-hatian.
Forum Bahtsul Masail yang digelar oleh Lembaga Bahtsul Masail PWNU DKI Jakarta menegaskan bahwa boikot hanya sah secara syariat jika terbukti secara faktual dan nyata bahwa perusahaan tersebut mendukung agresi Israel.
“Menuduh tanpa bukti atas keterkaitan dengan Israel adalah tindakan haram,” tegas KH. Ahmad Fuad, Sekretaris LBM PWNU DKI Jakarta. Forum ini menekankan pentingnya tabayyun atau verifikasi sebelum menyebarluaskan ajakan boikot.
Senada, forum serupa yang diselenggarakan ulama dan kiai dari se-Jawa dan Madura di Pondok Buntet Pesantren menyepakati bahwa boikot harus mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi, termasuk potensi PHK massal. Aksi yang tidak berbasis data dan cenderung reaktif justru bisa menciptakan kerugian internal yang besar bagi bangsa sendiri.
KSPI Desak Pemerintah Bentuk Satgas PHK
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mencatat bahwa sepanjang Januari hingga Februari 2025, sebanyak 60.000 buruh dari 50 perusahaan mengalami PHK. KSPI mendesak pembentukan Satuan Tugas (Satgas) PHK untuk menangani krisis ini secara menyeluruh.
Anwar Sanusi menyampaikan bahwa pemerintah tengah membentuk Satgas PHK lintas kementerian. Satgas ini akan berfokus pada:
- Deteksi dini potensi PHK
- Perlindungan hak pekerja
- Reintegrasi pekerja ke pasar kerja
- Penguatan pelatihan vokasi berbasis kebutuhan industri
“Pemetaan komprehensif sangat diperlukan untuk memahami faktor-faktor di balik lonjakan PHK, termasuk dampak aksi boikot,” ujar Anwar.
Halaman Selanjutnya
“Menuduh tanpa bukti atas keterkaitan dengan Israel adalah tindakan haram,” tegas KH. Ahmad Fuad, Sekretaris LBM PWNU DKI Jakarta. Forum ini menekankan pentingnya tabayyun atau verifikasi sebelum menyebarluaskan ajakan boikot.