Jakarta, VIVA - Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta menyoroti soal Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) Nomor 1 Tahun 2025 yang mengatur salah satu pasalnya terkait pegawai badan maupun direksi, dewan pengawas, dewan komisaris bukan penyelenggara negara. Sehingga, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terancam tidak bisa menyentuh Direksi hingga Komisaris BUMN dalam perkara dugaan pidana korupsi.
Menurut dia, diskusi mengenai penegakan hukum mengemuka ketika UU BUMN yang baru mengatur mengenai subyek BUMN yang bukan dikategorikan penyelenggara negara. Dalam Pasal 3X Ayat (1) dan Pasal 9G UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN mengatur, bahwa organ dan pegawai badan maupun direksi, dewan pengawas, dewan komisaris bukan penyelenggara negara.
“Pengaturan ini menimbulkan polemik, karena dinilai seolah melindungi seluruh BUMN dari penindakan kasus tindak pidana korupsi oleh KPK, sebagaimana kewenangan KPK yang diatur dalam UU KPK maupun UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN,” kata Wayan di Jakarta pada Selasa, 13 Mei 2025.
Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan I Wayan Sudirta
Kata dia, boleh jadi pembentukan UU BUMN tersebut merupakan sebuah strategi berhasil dalam upaya mengoptimalkan manajemen keuangan negara. Namun, secara ekuivalen juga menciptakan risiko dalam pengawasannya. Kekhawatiran masyarakat tentu juga hadir bersama dengan optimisme pasar.
“Salah satu kekhawatiran besar tersebut adalah terkait dengan pengawasan dan penegakan hukumnya. Pengaturan UU tersebut dinilai justru memberi jalan bagi pelaku korupsi untuk semakin menghindari permasalahan hukum,” ujar Legislator dari Fraksi PDI Perjuangan ini.
Padahal, Wayan mengatakan berdasarkan data bahwa KPK telah melakukan penegakan hukum terkait kasus di BUMN. Misalnya sebagaimana disampaikan oleh ICW, dari 2016-2021 saja terdapat 119 kasus dan 340 tersangka. Selain itu, publik juga sering mendengar bahwa KPK maupun Kejaksaan Agung melakukan penindakan terhadap kasus yang terjadi di BUMN, seperti kasus Pertamina.
“Namun begitu, Menteri BUMN menyampaikan bahwa KPK tetap bisa melakukan penyidikan kasus korupsi terhadap personel BUMN. Namun, sebenarnya bagaimana dampak dari UU BUMN ini dari sisi legalitas (regulatory framework) terhadap penyidikan kasus korupsi, terutama yang menjadi kewenangan KPK. Benarkah terdapat upaya atau pengaturan untuk melindungi para personel BUMN atau menghindarkan mereka dari kasus korupsi,” jelas dia.
Menurut dia, untuk dapat memahami ranah penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi, maka faktor atau unsur yang perlu untuk dikaji adalah subyek hukum, perbuatan melawan hukum (mens rea), akibat hukum (kerugian negara), dan kewenangan (kompetensi).
Dalam polemik pengaturan UU BUMN, Wayan menilai hal yang menarik untuk disimak perjalanan pengaturan tentang penyelenggara negara dan kekayaan negara yang menjadi obyek hukum pidana korupsi yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan secara khusus (lex specialis).
Mengenai subyek hukumnya, beberapa pakar hukum menyampaikan bahwa BUMN merupakan bentuk dari penyertaan modal negara, sehingga harus dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Demikian pula terkait dengan obyek kerugian negara, kerugian pada harta kekayaan dalam BUMN seharusnya bagian dari obyek yang termasuk dalam kekayaan negara secara regulatif.
“Penyelenggara Negara telah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme,” kata Legislator asal daerah pemilihan (Dapil) Bali.
Selanjutnya, kewenangan KPK diatur dalam Pasal 11 Ayat (1) UU KPK yang menyatakan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain serta/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.
Demikian pula, perdebatan tentang upaya untuk memisahkan BUMN dari obyek tindak pidana korupsi juga terjadi terkait dengan definisi kekayaan negara. Terdapat uji materi terkait dengan apakah pengelolaan keuangan BUMN masuk dalam kategori kekayaan negara, atau keuangan negara sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
Putusan MK Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Putusan MK Nomor 62/PUU-XI/2013 termasuk berkaitan dengan Putusan MK Nomor 59/PUU-XVI/2018 (Dana Pensiun), serta Nomor 26/PUU-XIX/2021 (anak perusahaan BUMN). Putusan MK Nomor 48/PUU-XI/2013 menyatakan, rumusan pengertian mengenai keuangan negara dalam Pasal 1 angka 1 UU Keuangan Negara menggunakan rumusan pengertian yang bersifat luas dan komprehensif.
Sedangkan, Putusan MK Nomor 62/PUU-XI/2013 menyatakan hakikat BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya yang seluruh atau sebagian besar sahamnya merupakan milik negara adalah merupakan kepanjangan tangan negara.
Lebih lanjut, kata dia, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa keuangan BUMN merupakan keuangan negara. MK memutuskan perdebatan mengenai apakah kerugian BUMN adalah juga kerugian negara.
"KPK memahami bahwa kerugian atau keuangan BPI Danantara atau BUMN, tetap dapat masuk dalam ranah unsur kerugian negara. Organ, pengurus, pejabat atau pegawai BUMN tetap dapat dianggap sebagai penyelenggara negara, sebagaimana UU tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN,” ungkapnya.
Untuk itu, Wayan sependapat dengan MK dan KPK yang menyebut bahwa segala kekayaan BUMN merupakan kekayaan negara. Akan tetapi, karena hal tersebut juga masuk dalam pemahaman (framework) bisnis dan korporasi, maka apabila terdapat tindakan para pemangku jabatan di BUMN yang merugikan BUMN atau dapat merugikan negara atau perekonomian negara, tidak dapat begitu saja langsung masuk ke ranah pemidanaan, baik secara orang perseorangan maupun korporasi.
“Tindakan tersebut bukan pidana selama tidak dapat dibuktikan bahwa tindakan tersebut dilakukan dengan itikad buruk. Adapun, pidana tersebut harus mengandung unsur perbuatan yang dimaksudkan untuk merugikan negara, tindakan tidak sah untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompok, kebijakan berdasarkan suap, maupun perbuatan pidana lain terkait dapat dikategorikan sebagai obyek tindak pidana dalam hal ini juga tindak pidana korupsi,” jelas dia.
Sehingga, Wayan melihat bahwa hal ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi aparat penegak hukum khususnya KPK dalam mengusut kejahatan korupsi di BUMN secara profesional dan efektif. Menurut dia, pembuktian mengenai unsur tindak pidana korupsi atau kelalaian atau kesalahan korporasi, akan menjadi hal yang selalu akan diperdebatkan oleh advokat maupun insan hukum lainnya.
“Untuk saat ini, dibutuhkan kolaborasi KPK, Kementerian BUMN, dan seluruh pihak terkait untuk mengimplementasi komitmen anti korupsi. Kesepahaman bersama bisa menjadi salah satu alternatif solusi dari perdebatan tersebut,” pungkasnya.
Halaman Selanjutnya
Menurut dia, untuk dapat memahami ranah penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi, maka faktor atau unsur yang perlu untuk dikaji adalah subyek hukum, perbuatan melawan hukum (mens rea), akibat hukum (kerugian negara), dan kewenangan (kompetensi).