Jakarta, VIVA – Kasus pemerkosaan yang mengguncang publik terjadi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.
Seorang Dokter berinisial PAP (31) yang sedang menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), pelaku pemerkosaan terhadap keluarga pasien, memiliki kelainan seksual atau fetish terhadap orang yang tidak sadarkan diri.
“Dari pemeriksaan beberapa hari ini memang kecenderungan pelaku ini mengalami sedikit kelainan dari segi seksual ya,” kata Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jawa Barat Kombes Pol Surawan.
“Psikolog sendiri juga sudah menyatakan bahwa memang pelaku ini memiliki kelainan perilaku seksual,” tambahnya.
Pelaku PAP memiliki kelainan seksual yakni punya fetish seksual orang pingsan.
Psikiater dokter Zulvia Oktanida Syarif menyebut bahwa kekerasan seksual bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk oleh tenaga medis.
Psikiater dokter Zulvia Oktanida Syarif
Ia mengingatkan publik untuk tidak silau oleh jabatan, gelar, atau profesi ketika menyikapi kasus kekerasan seksual.
“Kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja dan oleh siapa saja, termasuk oleh dokter. Kita perlu melihat ini sebagai tindakan yang dilakukan oleh oknum, dan harus ditindak secara hukum dan etik kedokteran,” ujar Zulvia dikutip tvOne.
Zulvia menjelaskan bahwa dalam konteks medis, kelainan seksual ini dikenal sebagai parafilia. Salah satu bentuk parafilia adalah ketertarikan seksual terhadap orang yang sedang tidak sadar atau pingsan.
“Kita menyebutnya parafilia. Ini bisa berupa ketertarikan terhadap jenazah, orang yang tidur, pingsan, atau tidak sadar. Tapi perlu dibedakan, apakah hanya berupa deviasi atau sudah menjadi gangguan mental,” jelasnya.
Namun, ia menekankan bahwa meski pelaku memiliki gangguan jiwa, bukan berarti aspek hukum bisa diabaikan, terutama jika tindakan dilakukan dalam keadaan sadar.
Gangguan Jiwa Tak Selalu Terdeteksi
Zulvia juga menyoroti kondisi dunia kedokteran yang belakangan kerap disorot akibat berbagai kasus, mulai dari bullying hingga kekerasan seksual. Menurutnya, dunia kedokteran memang sedang tidak baik-baik saja.
“Sebetulnya dunia in general juga sedang tidak baik-baik saja. Dulu mungkin kasus seperti ini terjadi tapi tidak terungkap. Sekarang karena media sosial dan keberanian speak up, masyarakat jadi lebih tahu,” bebernya.
Zulvia menambahkan bahwa meski seleksi masuk pendidikan dokter spesialis sangat ketat dan termasuk pemeriksaan kesehatan jiwa seperti tes MMPI, kondisi mental seseorang bisa berubah dalam proses pendidikan yang panjang.
“Waktu masuk mungkin tidak terdeteksi gangguan, tapi selama 4 tahun banyak hal bisa terjadi. Bisa depresi, bahkan sampai tindakan ekstrem,” ujar Zulvia.
Modus Bius Saat Korban Temani Ayah yang Kritis
Tragedi ini terjadi ketika korban sedang menemani ayahnya yang tengah kritis di RSHS Bandung. Pelaku menyuruh korban melakukan transfusi darah seorang diri di lantai tujuh gedung MCHC tanpa pendampingan keluarga.
Menurut keterangan Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol. Hendra Rochmawan, pelaku menyuntikkan cairan bius melalui selang infus hingga korban tidak sadarkan diri.
“Jarum bahkan ditusukkan sampai 15 kali ke tangan korban. Sekitar pukul 04.00 WIB, korban sadar dan merasa perih saat buang air kecil,” jelas Hendra.
Hasil penyelidikan mengungkap adanya sisa sperma dan alat kontrasepsi di tubuh korban. Sampel tersebut telah diamankan dan akan diuji lewat tes DNA untuk memperkuat bukti hukum.
Pelaku akhirnya ditangkap pada 23 Maret 2025 di sebuah apartemen di Kota Bandung.
Halaman Selanjutnya
Ia mengingatkan publik untuk tidak silau oleh jabatan, gelar, atau profesi ketika menyikapi kasus kekerasan seksual.