Jakarta, VIVA – Pemerintah Indonesia berencana mengalihkan impor BBM dari negara-negara eksportir seperti Singapura menjadi dari Amerika Serikat (AS). Hal itu sebagai bagian dari upaya negosiasi tarif perdagangan RI-AS, yang saat ini terus dicari titik temunya oleh kedua belah pemerintah.
Rencana peningkatan impor energi dari AS oleh pemerintah itu tak main-main, karena total nilainya mencapai hingga US$10 miliar yang mencakup pembelian minyak mentah, BBM, dan gas petroleum cair alias LPG.
Meski bertujuan mengatasi masalah defisit neraca perdagangan AS terhadap Indonesia, namun Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi berpendapat bahwa langkah itu bukannya tanpa risiko.
Sebab menurutnya, impor minyak mentah dari AS belum tentu sesuai dengan kilang minyak Pertamina untuk menghasilkan BBM.
"AS belum tentu mampu menyediakan impor Pertalite yang harus blending, karena tidak dijual di AS. Maka hal itu berpotensi menimbulkan masalah baru bagi Indonesia," kata Fahmy dalam keterangannya, Selasa, 13 Mei 2025.
Dia menjelaskan, harga impor minyak mentah seharusnya lebih mahal dibandingkan dengan harga minyak di Singapura karena biaya logistiknya lebih tinggi.
SPBU Pertamina, ilustrasi harga BBM
Namun, Fahmy menekankan bahwa mafia migas yang selama ini memburu rente impor BBM dari Singapura tentunya juga akan melakukan berbagai upaya untuk menghalangi rencana pengalihan impor BBM tersebut.
Dia menegaskan, apabila Menteri Bahlil memaksakan untuk tetap mengalihkan impor minyak dari Singapura ke AS, maka pemerintah harus memastikan bahwa spesifikasi minyak mentah itu harus sesuai dengan kilang Pertamina dan bisa melakukan blending untuk menghasilkan Pertalite.
Fahmy menambahkan, harga impor BBM dari AS minimal harus sama dengan harga impor dari Singapura. Hal itu seiring upaya pemerintah yang harus berkomitmen dan bertekad untuk memberantas mafia migas, yang akan menghalangi pengalihan impor BBM dari Singapura ke AS tersebut.
"Tanpa berbagai upaya tersebut, kebijakan alihkan impor minyak tidak hanya akan mengatasi defisit neraca perdagangan AS, tetapi juga akan menimbulkan masalah baru. Kebijakan Pemerintah seharusnya mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah baru," ujarnya.
Halaman Selanjutnya
Source : VIVA/M Ali Wafa