Jakarta, VIVA – Isu terkait perampasan tanah warisan oleh negara tengah menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat.
Rumor ini mencuat setelah adanya kekhawatiran bahwa aset tanah atau rumah yang tidak dikelola atau dibiarkan terbengkalai bisa disita oleh negara. Namun, bagaimana faktanya?
Dalam rapat kerja bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada Senin, 21 April 2025, Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, menyoroti keresahan masyarakat mengenai nasib tanah-tanah warisan yang tidak segera dibaliknamakan atau dikelola.
“Banyak sekali orang, warga, masyarakat dapat tanah warisan berupa rumah warisan. Kalau orang zaman dulu NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) murah, begitu dapat warisan tiba-tiba NJOP sudah ratusan juta, ketika harus balik nama itu sekitar 5-10% biayanya, mungkin seseorang harus mengeluarkan bisa ratusan juta bahkan miliaran. Balik namanya itu pasti mahal sekali,” ujar Dede Yusuf, dilansir Instagram @ddyusuf66, pada Jumat 25 April 2025.
Politikus Demokrat itu juga menyoroti bahwa isu ini menyasar tanah-tanah berukuran kecil yang banyak tersebar di kampung-kampung, bukan tanah berhektar-hektar.
“Saya sepakat kalau ada tanah yang luasanya ratusan hektar, ribuan hektar, tidak diurus diambil oleh negara, dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Tapi kalau tanah cuma 200 meter persegi, 400 meter persegi yang banyak di daerah-daerah, di kampung-kampung warisan tidak diurus karena banyak warga juga mungkin tidak mau, mungkin lupa membayar PBB, kalau diambil mungkin ini bisa jadi suatu masalah,” tambahnya.
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid
Photo :
- VIVA.co.id/Rahmat Fatahillah Ilham
Menanggapi kekhawatiran tersebut, Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid menegaskan bahwa isu tanah warisan langsung diambil negara adalah tidak benar.
“Itu tidak betul, tanah-tanah warisan sebaiknya segera disertifikasi karena kalau tidak disertifikasi nanti berpotensi menjadi tanah terlantar,” jelas Nusron.
Ia menegaskan bahwa status kepemilikan menjadi kunci penting dalam penentuan apakah sebuah tanah bisa dikategorikan sebagai terlantar.
“Sejak ditetapkan HGB (Hak Guna Bangun) tahun 2020 selama dua tahun bapak nggak ngapa-ngapain, nanem enggak, nyangkul enggak, nyentuh nggak itu bisa berpotensi ditetapkan menjadi tanah terlantar tapi kalau sifatnya SHM (Sertifikat Hak Milik) tidak bisa,” katanya.
Nusron juga meluruskan kekhawatiran soal keharusan balik nama. Menurutnya, tanah yang diwariskan tetap sah secara kepemilikan atas nama pewaris (orang yang telah wafat), selama sudah ada penetapan hak waris.
“Sebetulnya mau balik nama atau nggak balik nama itu hak yang bersangkutan. Jadi misal tanah itu tidak di balik nama karena takut dijual, ini tetap menjadi miliknya yang sudah wafat sepanjang ada penetapan hak waris ya nggak ada masalah. Nggak balik nama pun ga ada masalah,” ujar dia.
Namun demikian, ia mengingatkan pentingnya status kepemilikan yang sah dan diakui negara.
“Selama sudah SHM ga ada masalah, tapi kalau masih girik itu bermasalah,” tutupnya.
Dengan demikian, masyarakat tidak perlu panik, tetapi tetap disarankan untuk segera mengurus sertifikasi dan penetapan hak waris agar tidak menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.
Halaman Selanjutnya
Ia menegaskan bahwa status kepemilikan menjadi kunci penting dalam penentuan apakah sebuah tanah bisa dikategorikan sebagai terlantar.