Jakarta, VIVA – Dalam era media sosial yang serba visual, istilah “Flexing” menjadi salah satu kata gaul yang sering terdengar. Mulai dari TikTok, Instagram, hingga Twitter (X), kata ini muncul dalam berbagai konteks, baik positif maupun negatif. Tapi sebenarnya, apa itu flexing? Mengapa istilah ini bisa jadi tren yang viral, dan bagaimana masyarakat memaknainya di tengah banjir konten pamer gaya hidup?
Artikel ini akan mengulas secara lengkap fenomena flexing di dunia digital — dari makna, tren viral, hingga dampaknya terhadap kehidupan sosial dan mental generasi muda.
1. Apa Itu “Flexing”?
Secara harfiah, flexing berasal dari kata kerja dalam bahasa Inggris, yaitu “flex” yang artinya melenturkan otot — sering digunakan untuk menunjukkan kekuatan atau kelebihan. Dalam konteks media sosial, flexing berarti pamer sesuatu dengan niat memperlihatkan keunggulan, entah itu kekayaan, barang mewah, pencapaian pribadi, atau gaya hidup.
Contoh flexing di media sosial:
- Pamer mobil sport atau jam tangan branded
- Memperlihatkan saldo rekening atau slip gaji
- Update story liburan ke luar negeri sambil menyindir "yang belum mampu"
- Makan di restoran mahal disertai caption menyombong
Ilustrasi liburan private tour ke Jepang
2. Flexing Jadi Budaya Populer di TikTok & Instagram
Tren flexing mulai booming bersamaan dengan maraknya konten “rich life” yang dikemas dengan musik upbeat, editan mewah, dan caption penuh aura kemenangan. Di TikTok, misalnya, kita sering melihat konten “day in my life as a CEO”, atau video yang memamerkan belanja di mall branded.
Fenomena ini bahkan melahirkan istilah seperti:
- Sultan vibes: orang yang kelihatan kaya dan borju
- Crazy Rich: plesetan dari film Crazy Rich Asians, merujuk pada gaya hidup ultra-mewah
- Flex culture: budaya pamer kekayaan sebagai cara membangun identitas
3. Pamer Positif vs Flexing Toksik: Di Mana Batasnya?
Ilustrasi Liburan di Jepang
Photo :
- freepik.com/freepik
Tidak semua bentuk flexing negatif. Dalam beberapa kasus, ada yang sekadar ingin berbagi kebahagiaan atau memotivasi orang lain. Namun, masalah muncul ketika:
- Pamer dilakukan untuk merendahkan orang lain
- Membuat orang merasa minder atau iri
- Menciptakan standar palsu tentang kesuksesan
- Dilakukan dengan manipulasi visual atau utang demi gengsi
Banyak netizen menilai, jika konten dibuat dengan niat membandingkan atau menghina orang lain secara halus (humblebrag), maka itu tergolong flexing toksik.
4. Dampak Flexing terhadap Psikologis Generasi Muda
Tip 5: Konsultasikan ke Dokter jika Gatal Berlanjut
Tren ini bisa memberi tekanan tersendiri bagi remaja atau pengguna media sosial yang sedang mencari jati diri. Beberapa dampak negatifnya:
- FOMO (Fear of Missing Out): rasa takut tertinggal karena tidak punya gaya hidup seperti yang dilihat di medsos
- Low self-esteem: merasa hidup sendiri tidak cukup “wah”
- Konsumtif dan impulsif: memaksakan gaya hidup agar terlihat keren
- Kebiasaan membandingkan hidup dengan orang lain tanpa tahu realitas sesungguhnya
Psikolog menyarankan agar pengguna media sosial lebih kritis terhadap konten yang bersifat pamer dan tidak mudah termakan ilusi dunia maya.
5. Tips Bijak Menghadapi Budaya Flexing
Jika kamu merasa tidak nyaman dengan tren flexing, berikut beberapa cara menghadapinya:
- Kurangi waktu di media sosial jika merasa tertekan
- Ingat bahwa media sosial bukan cermin realita penuh
- Follow akun-akun yang membagikan konten edukatif atau inspiratif
- Fokus pada perkembangan diri, bukan membandingkan
Jadilah bagian dari tren “real life movement” yang menunjukkan keseharian tanpa pencitraan
Flexing Boleh, Tapi Harus Ada Etikanya
Flexing di media sosial memang tak bisa dihindari. Di satu sisi, ini bisa jadi bentuk kebanggaan atas hasil kerja keras. Namun di sisi lain, jika dilakukan berlebihan, bisa merusak kesehatan mental sosial masyarakat dan menciptakan kesenjangan virtual yang tidak sehat.
Daripada sekadar pamer, mari kita ubah cara berbagi menjadi sesuatu yang lebih bermakna. Bukan soal seberapa mahal yang kita punya, tapi seberapa tulus kita memberi inspirasi.
Halaman Selanjutnya
Tren flexing mulai booming bersamaan dengan maraknya konten “rich life” yang dikemas dengan musik upbeat, editan mewah, dan caption penuh aura kemenangan. Di TikTok, misalnya, kita sering melihat konten “day in my life as a CEO”, atau video yang memamerkan belanja di mall branded.