Tuai Polemik, DPR Persilakan Warga Gugat UU BUMN ke MK

2 hours ago 1

Rabu, 7 Mei 2025 - 00:14 WIB

Jakarta, VIVA – Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil angkat bicara soal polemik yang timbul terkait Undang-undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 

Polemik muncul karena dalam UU BUMN disebut direksi dan komisaris BUMN bukanlah penyelenggara negara. Hal ini bisa menyebabkan ruang gerak KPK terancam dalam melakukan penegakan hukum.

Terkait hal itu, Nasir meminta masyarakat yang keberatan untuk melayangkan gugatan terhadap UU BUMN ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kalau misalnya ada warga yang merasa keberataan, ya tentu Mahkamah Konstitusi itu tempat untuk menguji apa yang dibuat oleh pembentuk undang-undang," kata Nasir kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 6 Mei 2025.

Anggota Komisi III, DPR Nasir Djamil

Nantinya, apabila UU tersebut dibawa ke MK, maka MK bakal memutuskan layak tidaknya UU tersebut direvisi.

Nassir pun menyinggung pernyataan Presiden RI Prabowo Subianto yang hendak memberantas korupsi.

"Presiden dimana-mana menyantakan akan menghajar koruptor, menyikat habis koruptor. Lalu ada pasal seperti itu," kata dia.

Atas dasar tersebut, Nassir kembali menekankan bahwa dirinya meminta masyarakat menggugat UU tersebut ke MK agar tak makin menimbulkan polemik yang mendalam.

"Tentu ketika ada warga yang bertanya kepada saya, Saya katakan ya silahkan bukat ke mahkamah konstitusi, kalau Anda merasa tidak cocok dengan pasal tersebut," pungkas Nasir.

Untuk diketahui, UU BUMN 2025 mengubah sejumlah ketentuan mendasar dari regulasi sebelumnya, yakni UU Nomor 19 Tahun 2003. Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah Pasal 9G, yang secara eksplisit menyatakan bahwa anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.

Selain itu, Pasal 87 angka 5 juga mempertegas bahwa pegawai BUMN tidak termasuk kategori penyelenggara negara. Ketentuan ini berlaku terhadap seluruh pegawai yang diangkat dan diberhentikan berdasarkan peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Perubahan status ini menimbulkan kekhawatiran dari sejumlah kalangan, karena dapat mempersempit ruang lingkup pengawasan oleh lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman, maupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang selama ini menggunakan status penyelenggara negara sebagai dasar pertanggungjawaban etik dan hukum.

Halaman Selanjutnya

"Presiden dimana-mana menyantakan akan menghajar koruptor, menyikat habis koruptor. Lalu ada pasal seperti itu," kata dia.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |