Jakarta, VIVA - Yayasan Alih Teknologi Bandar Lampung (YATBL) melaporkan Anggota DPR RI, inisial MK ke Bareskrim Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan dibuat atas dugaan tindak pidana penyalahgunaan jabatan, pemberian ijazah tanpa hak, serta penyimpangan keuangan di Universitas Malahayati Bandar Lampung.
Adapun, laporannya teregister di Bareskrim Polri dengan Nomor: LP/B/146/III/2025/SPKT/ BARESKRIM POLRI, tertangagl 19 Maret 2025. Sementara, MK dilaporkan atas dugaan pelanggaran Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
“LP/B/146/III/2025/SPKT/BARESKRIM POLRI tertanggal 19 Maret 2025, mengacu pada dugaan pelanggaran terhadap Pasal 67 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,” kata Penasihat Hukum Yayasan Alih Teknologi Bandar Lampung, Dendi Rukmantika melalui keterangannya pada Rabu, 7 Mei 2025.
Ilustrasi Gedung Bareskrim Polri
Photo :
- VIVA/Rahmat Fatahillah Ilham
Dendi menjelaskan MK dilaporkan oleh Yayasan Alih Teknologi Bandar Lampung atas dugaan empat pelanggaran sekaligus, yaitu pemberian ijazah tanpa hak, pelaksanaan wisuda ilegal, manipulasi sistem keuangan mahasiswa, dan penyalahgunaan jabatan. Kata Dendi, pemberian ijazah tanpa izin terjadi pada November-Desember 2024. Sementara, pelaksanaan wisuda ilegal terjadi pada 22 Februari 2025.
”MK memimpin acara wisuda Universitas Malahayati tanpa dasar legalitas formal,” ujarnya.
Selain itu, Dendi mengatakan MK juga diduga melakukan pelanggaran manipulasi sistem keuangan mahasiswa yang terjadi pada Januari 2025. Diduga, lanjut dia, MK mengubah metode pembayaran mahasiswa dari sistem virtual account menjadi pembayaran tunai. Perubahan itu dibuktikan dengan surat pemberitahuan yang terbit pada 21 Januari 2025.
Menurut dia, perubahan itu membuka potensi terjadinya penggelapan dan pencucian uang. ”Penyalahgunaan jabatan, tindakan administratif dan keuangan tanpa dasar hukum yang sah, melanggar prinsip akuntabilitas pendidikan tinggi,” jelas Dendi.
Di samping itu, Dendi menjelaskan latar belakang kasus tersebut bahwa Universitas Malahayati merupakan perguruan tinggi yang sah didirikan dan dikelola oleh Yayasan Ahli Teknologi Bandar Lampung (YATBL), sesuai akta notaris universitas dengan Nomor 117 Tahun 1992. Berdasarkan perubahan terakhir yang tercatat di Kementerian Hukum dan HAM, struktur kepemimpinan yayasan telah ditetapkan dan diakui secara hukum.
“Pada 23 September 2024, terjadi tindakan sepihak oleh dua oknum pengurus yayasan (Sekretaris dan Bendahara) yang tanpa persetujuan pembina dan pengurus sah,” ungkapnya.
Adapun, dua oknum tersebut memberhentikan AF sebagai Rektor Universitas Malahayati dan mengangkat MK (terlapor) sebagai Rektor melalui SK Nomor: 066/SK/ALTEK/IX/2024.
Dengan begitu, Dendi mengatakan tindakan tersebut bertentangan dengan Statuta Universitas Malahayati dan Anggaran Dasar Yayasan. Tidak hanya itu, keputusan tersebut juga dilakukan saat masa jabatan AF belum berakhir.
”Yayasan mengeluarkan SK Nomor 001/ALTEK/X/2024 tanggal 1 Oktober 2024 untuk membatalkan pengangkatan MK (terlapor) dan mengembalikan kepemimpinan sah kepada AF. Namun, hingga saat ini MK (terlapor) tetap menguasai kampus secara ilegal,” ujarnya.
Sementara, Dendi mengungkapkan bahwa Yayasan Ahli Teknologi Bandar Lampung menuntut beberapa hal di antaranya penegakan hukum tanpa pandang bulu harus dilakukan oleh Bareskrim Polri terhadap terlapor MK, termasuk penanganan atas dugaan pidana di bidang pendidikan dan keuangan.
Selanjutnya, kata dia, pengembalian kontrol kampus kepada kepemimpinan yang sah berdasarkan keputusan pembina dan akta yayasan yang telah disahkan Kementerian Hukum dan HAM. Makanya, ia berharap pemerintah, Kementerian Pendidikan dan seluruh pihak terkait untuk bertindak cepat agar tidak berlarut-larut kasus ini diselesaikan.
”Pemeriksaan dan audit aliran dana kampus sejak penguasaan ilegal dimulai. Perlindungan terhadap hak-hak mahasiswa dan dosen, termasuk keabsahan ijazah dan proses akademik mereka,” pungkasnya.
Halaman Selanjutnya
“Pada 23 September 2024, terjadi tindakan sepihak oleh dua oknum pengurus yayasan (Sekretaris dan Bendahara) yang tanpa persetujuan pembina dan pengurus sah,” ungkapnya.