Tiongkok, VIVA – Meskipun produksi di luar negeri memungkinkan produsen mobil China menghindari tarif, seperti bea impor 40% yang dikenakan oleh Turki, langkah ini justru membawa biaya produksi yang tinggi dan ketidakpastian regulasi.
Investasi BYD sebesar 1 miliar dolar AS untuk mendirikan pabrik di Turki mencerminkan perubahan strategi ekspor kendaraan listrik (EV) China. Namun, langkah ini juga mengungkap kelemahan struktural dalam strategi industri otomotif mereka.
Seperti dilansir Greek CIty Times, Rabu 21 Mei 2025, Uni Eropa, sebagai salah satu pasar utama kendaraan listrik China, sedang mempertimbangkan penyelidikan anti-dumping yang bisa memperketat akses merek-merek China, bahkan mungkin menghilangkan keuntungan dari kesepakatan bea masuk antara Turki dan UE.
Selain itu, produsen mobil China juga mulai kehilangan keunggulan biaya produksi. Produksi di luar negeri mengharuskan mereka mematuhi aturan ketenagakerjaan dan standar lingkungan setempat, yang tentu bisa meningkatkan pengeluaran. Hingga tahun 2024, harga rata-rata kendaraan listrik BYD masih 20–30% lebih murah dibandingkan merek Barat. Namun, fasilitas produksi di luar negeri bisa mengikis keunggulan harga ini.
Jika ketegangan geopolitik meningkat—seperti halnya pembatasan ekspor chip China oleh Amerika Serikat—posisi China di pasar otomotif global bisa melemah. Alih-alih memperkuat dominasi, ekspansi ke luar negeri justru mencerminkan strategi reaktif, memperlihatkan betapa sulitnya mempertahankan pertumbuhan berbasis ekspor di tengah kondisi global yang berubah cepat.
Produksi kendaraan listrik China di luar negeri kini menghadapi semakin banyak hambatan regulasi yang dapat membatasi ekspor mereka, terutama di Turki dan Uni Eropa. Pada tahun 2023, Turki memberlakukan tarif sebesar 40% untuk impor kendaraan listrik dari China. Langkah ini mengingatkan pada tindakan Uni Eropa terhadap panel surya China di awal 2010-an, yang menyebabkan penurunan ekspor besar-besaran.
Pabrik produksi mobil listrik BYD di Changzhou
Photo :
- Doc. BYD Motor Indonesia
Pabrik BYD senilai 1 miliar dolar di Turki bertujuan untuk menghindari tarif melalui akses ke serikat bea cukai UE, namun UE kini tengah mempertimbangkan pembatasan perdagangan lebih lanjut dengan alasan subsidi pemerintah dan distorsi persaingan.
Pasar Eropa mencatat lonjakan impor kendaraan listrik China sebesar 112% pada tahun 2023. Namun sekarang, UE mempertimbangkan langkah-langkah pertahanan seperti yang dilakukan AS, yang membatasi sektor teknologi dan otomotif China. Naiknya biaya produksi di luar negeri dan perubahan dinamika politik memperlihatkan bahwa produsen mobil China kesulitan mempertahankan keunggulan biaya. Alih-alih menjadi solusi jangka panjang, pergeseran ini justru menunjukkan kelemahan yang bisa menggerus dominasi global China di pasar kendaraan listrik.
Keunggulan biaya ekspor kendaraan listrik China semakin tertekan akibat tingginya biaya produksi luar negeri. Di awal 2000-an, produsen mobil Jepang menghadapi masalah serupa ketika mereka memindahkan produksi ke luar negeri, yang pada akhirnya mengikis daya saing mereka.
Saat ini, perusahaan China seperti BYD menghadapi kenaikan biaya untuk mendirikan pabrik, logistik rantai pasok, dan upah tenaga kerja lokal. Sebagai contoh, pabrik BYD di Turki memang bertujuan menghindari tarif, namun menambah kompleksitas operasional. Sementara itu, pengawasan regulasi dari Uni Eropa dapat menambah biaya melalui kebijakan anti-dumping.
Pada tahun 2023, harga kendaraan listrik China masih 20–30% lebih rendah dibandingkan pesaingnya. Namun, ekspansi ke luar negeri bisa mengurangi selisih tersebut. Jika keunggulan harga ini hilang, kendaraan listrik China mungkin akan kehilangan daya tarik di pasar-pasar sensitif terhadap harga, sehingga membatasi potensi penjualan global.
Produsen mobil China juga menghadapi risiko besar dengan memindahkan produksi ke luar negeri. Walaupun saat ini kesepakatan bea masuk Turki dengan UE masih memberikan akses pasar, pengalaman masa lalu—seperti sanksi anti-dumping terhadap panel surya China—menunjukkan bahwa kebijakan bisa berubah dengan cepat. Jika Turki menegosiasikan ulang perjanjian dagangnya atau ditekan oleh UE, akses bebas bea bisa dicabut.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (kanan) berjabat tangan dengan Menlu China, Wang Yi (kiri).
Photo :
- ANTARA/Turkish presidency/Handout via Xinhua.
Selain itu, ketidakstabilan politik di negara tujuan produksi juga bisa mengganggu rantai pasok, sebagaimana yang pernah dialami perusahaan Barat di wilayah yang tidak stabil. Ketergantungan pada pusat produksi pihak ketiga menambah ketidakpastian dan bisa mengancam strategi ekspor kendaraan listrik jangka panjang China.
Pengalihan investasi ke produksi luar negeri juga dapat menghambat perkembangan industri kendaraan listrik China, karena mengurangi dana untuk inovasi domestik. Sejarah membuktikan bahwa industri otomotif Jepang tumbuh karena investasi yang konsisten dalam riset dan pengembangan (R&D), sementara perusahaan yang lebih fokus ekspansi ke luar negeri justru mengalami kemunduran inovasi.
Jika perusahaan-perusahaan China lebih banyak membangun pabrik di luar negeri daripada mengembangkan teknologi kendaraan listrik generasi berikutnya, mereka bisa kehilangan keunggulan dibandingkan pesaing dari Barat dan Jepang. Tanpa inovasi berkelanjutan, China bisa tertinggal dalam teknologi baterai, kendaraan otonom, dan bidang penting lainnya yang akan membentuk masa depan pasar kendaraan listrik.
Ekspansi produksi kendaraan listrik China ke luar negeri mencerminkan penyesuaian reaktif, bukan kepemimpinan strategis. Dalam sejarahnya, raksasa otomotif seperti Jerman dan Jepang membentuk perdagangan global melalui inovasi dan penguatan industri dalam negeri. Sebaliknya, produsen China kini makin bergantung pada fasilitas produksi luar negeri demi menghindari tarif tinggi, seperti bea masuk 40% yang dikenakan oleh Turki.
Strategi ini justru membuat kekuatan industri China menjadi terpecah dan rentan terhadap risiko geopolitik serta perubahan kebijakan perdagangan yang tidak menentu. Bukannya memperkuat posisi, penyebaran produksi ini justru bisa melemahkan kendali China atas pasar kendaraan listrik global, sehingga mengancam kestabilan ekspor jangka panjang.
Dominasi ekspor kendaraan listrik China kini menghadapi perlawanan yang semakin kuat seiring pengetatan kebijakan perdagangan global. Uni Eropa, yang khawatir terhadap ekspor China yang disubsidi, tengah mempertimbangkan tarif perlindungan seperti yang pernah dikenakan pada panel surya China di masa lalu. Amerika Serikat sudah lebih dulu memberlakukan pembatasan terhadap produsen mobil China dengan alasan ekonomi dan keamanan nasional.
Handover Ceremony 1.000 Unit Mobil Listrik BYD
Photo :
- VIVA.co.id/Muhammad Indra Nugraha
Produksi luar negeri, seperti pabrik BYD di Turki, memang ditujukan untuk menghindari tarif, namun biaya yang terus naik dan ketidakpastian regulasi melemahkan manfaat jangka panjangnya. Tanpa investasi berkelanjutan dalam riset dan pengembangan, China bisa tertinggal dari pesaing seperti Tesla dan produsen Eropa dalam penguasaan teknologi kendaraan listrik generasi mendatang.
Selain itu, ketidakstabilan geopolitik dan perubahan aliansi perdagangan juga bisa mengancam akses China ke pasar-pasar utama. Meningkatnya kebijakan proteksionis di berbagai negara, ditambah kemunculan pemimpin baru dalam industri kendaraan listrik di luar China, menunjukkan bahwa jendela dominasi China kini mulai menyempit.
Jika China gagal beradaptasi melebihi sekadar relokasi pabrik dan persaingan harga, maka ekspor kendaraan listriknya kemungkinan besar akan menurun, sementara pesaing-pesaingnya justru akan memimpin arah masa depan industri ini melalui inovasi teknologi.
Halaman Selanjutnya
Pabrik BYD senilai 1 miliar dolar di Turki bertujuan untuk menghindari tarif melalui akses ke serikat bea cukai UE, namun UE kini tengah mempertimbangkan pembatasan perdagangan lebih lanjut dengan alasan subsidi pemerintah dan distorsi persaingan.