Jakarta, VIVA – Advokasi Rakyat untuk Nusantara (ARUN) menyampaikan tujuh catatan penting terkait penyusunan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI, pada Selasa, 6 Mei 2025.
RDPU ini menjadi momentum penting untuk menampung aspirasi berbagai pihak dalam rangka menciptakan sistem peradilan pidana yang lebih adil, transparan, dan berpihak pada keadilan substantif.
Dalam kesempatan itu, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menekankan pentingnya posisi advokat dalam sistem peradilan pidana. Ia menyebut, peran advokat tak hanya sebagai pendamping hukum, tetapi juga pelindung hak warga negara saat berhadapan dengan negara yang diwakili aparat penegak hukum. Menurutnya, ketimpangan antara warga dan negara tidak boleh dibiarkan terjadi dalam proses hukum.
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman
Photo :
- VIVA.co.id/M Ali Wafa
"Semangat utamanya adalah untuk menghindari ketimpangan antara negara dan warga. KUHAP saat ini kerap menimbulkan korban karena lemahnya perlindungan terhadap hak individu," ujarnya dalam keterangan tertulis, diterima VIVA Rabu 7 Mei 2025.
Anggota Komisi III DPR lainnya, Bob Hasan, menambahkan bahwa advokat harus dilihat sebagai bagian dari sistem check and balances dalam proses hukum. Ia menilai pentingnya hak advokat untuk menjamin penahanan klien sebagai bagian dari prinsip due process of law.
Tujuh Catatan Penting dari ARUN
Ahmad Fatoni, selaku perwakilan ARUN, mengemukakan tujuh poin penting sebagai masukan terhadap RUU KUHAP:
1. Integrasi dengan KUHP Baru
Sistem hukum pidana harus selaras dengan semangat korektif dan pendekatan ultimum remedium yang diusung KUHP baru. Diperlukan keterpaduan antar-lembaga agar hukum tak sekadar prosedural, tetapi benar-benar memberi kepastian dan keadilan.
2. Penerapan Keadilan Korektif
Kepolisian dan Kejaksaan didorong untuk menjalankan peran yang lebih terbuka dan kolaboratif, dengan menempatkan kepentingan korban dan pelaku secara proporsional dalam semangat keadilan pemulihan.
3. Peran Hakim yang Aktif dan Substantif
Hakim diharapkan tidak hanya terpaku pada prosedur, tetapi juga menggali kebenaran materiil demi putusan yang adil dan humanis.
4. Penguatan Peran Advokat
Advokat perlu diberi akses sejak awal penyelidikan serta mendapat jaminan hukum yang memadai agar tidak dikriminalisasi dalam menjalankan tugasnya.
5. Perluasan Fungsi Praperadilan
ARUN mendorong perluasan ruang lingkup praperadilan untuk mengawasi tindakan aparat penegak hukum seperti penyitaan, penggeledahan, hingga penyadapan. Diharapkan juga ada batasan waktu dan hak banding terhadap putusan praperadilan.
6. Penguatan Prinsip Restorative Justice
Konsep keadilan restoratif perlu diterapkan secara lebih luas, tidak hanya untuk kasus anak atau pelanggaran ringan, melainkan juga pada kasus-kasus yang tidak melibatkan kekerasan berat. Proses mediasi penal harus diatur secara rinci dan akuntabel.
7. Transparansi dalam Pra-ajudikasi dan Ajudikasi
ARUN menyoroti pentingnya keterlibatan awal jaksa dan advokat dalam laporan polisi, agar penanganan kasus lebih objektif dan meminimalisir potensi kriminalisasi terhadap masyarakat.
Dalam penutupnya, Ahmad Fatoni menegaskan bahwa revisi RUU KUHAP harus mampu menghadirkan sistem hukum pidana yang berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia, keadilan substantif, serta transparansi di setiap proses hukum.
Halaman Selanjutnya
Sistem hukum pidana harus selaras dengan semangat korektif dan pendekatan ultimum remedium yang diusung KUHP baru. Diperlukan keterpaduan antar-lembaga agar hukum tak sekadar prosedural, tetapi benar-benar memberi kepastian dan keadilan.