Kanker Paru Sering Terlambat Dideteksi, Ini Solusinya

16 hours ago 2

Jakarta, VIVA – Kanker paru masih menjadi salah satu tantangan kesehatan terbesar di Indonesia dan dunia. Di tengah meningkatnya angka kasus dan kematian, skrining dini menjadi kunci utama dalam menekan laju kematian akibat penyakit ini. Data GLOBOCAN 2022 menunjukkan bahwa kanker paru menyumbang 2,4 juta kasus baru secara global, dengan hampir 1,8 juta kematian—menjadikannya salah satu penyebab kematian tertinggi akibat kanker.

Di Indonesia, penyakit ini menyumbang 14,1% dari total kematian akibat kanker, menjadikannya ancaman serius bagi kesehatan masyarakat. Scroll lebih lanjut ya.

Merespons kondisi ini, AstraZeneca Indonesia bersama Indonesian Cancer Information and Support Center Association (CISC) menggagas inisiatif edukatif bertajuk Pentingnya Skrining Kanker Paru. Kegiatan ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya deteksi dini melalui metode seperti Low-Dose Computed Tomography (LDCT) dan pemeriksaan biomolekuler.

Presiden Direktur AstraZeneca Indonesia, Esra Erkomay, menyampaikan bahwa edukasi merupakan pijakan awal bagi pemberdayaan pasien.

“Pemberdayaan pasien melalui informasi yang akurat dan mudah dipahami adalah langkah awal dalam melawan kanker paru. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan kami dalam mendorong masyarakat untuk lebih proaktif menjalani skrining dan memahami pilihan terapi yang tersedia," katanya.

"Sebagai perusahaan biofarmasi berbasis sains, kami berkomitmen menghadirkan solusi inovatif berbasis riset dengan menempatkan pasien sebagai pusat dari setiap inisiatif. Bersama CISC, kami berharap inisiatif edukasi ini tak hanya menjadi wadah berbagi, tetapi juga mendorong terciptanya ekosistem yang lebih peduli dan responsif terhadap kebutuhan pasien kanker paru di Indonesia," sambungnya lagi.

Kanker paru sering kali terdiagnosis pada stadium lanjut, ketika peluang pengobatan menjadi lebih kompleks dan angka harapan hidup menurun drastis. CISC, sebagai mitra dalam kampanye ini, menekankan pentingnya skrining secara berkala, terutama bagi kelompok berisiko tinggi.

Ilustrasi paru-paru/rontgen/x-ray.

Photo :

  • Freepik/pressfoto

“Sebagian besar kasus kanker paru masih terdiagnosis pada stadium lanjut, padahal pengobatan sejak dini secara signifikan dapat meningkatkan harapan hidup. Karena itu, skrining rutin—terutama bagi kelompok berisiko tinggi—tidak boleh diabaikan,” ujar Aryanthi Baramuli Putri, Ketua Umum CISC.

LDCT merupakan salah satu teknologi skrining yang terbukti efektif mendeteksi kanker paru pada tahap awal. Metode ini memungkinkan identifikasi kelainan pada jaringan paru bahkan sebelum gejala muncul. Dua studi besar mendukung efektivitas metode ini. National Lung Screening Trial (NLST) di Amerika Serikat mencatat penurunan angka kematian sebesar 20% dengan penggunaan LDCT dibandingkan rontgen dada biasa. Sementara itu, NELSON Trial di Eropa menunjukkan penurunan kematian hingga 24% pada pria dan 33% pada wanita dalam rentang waktu 10 tahun.

Dr. Jamal Zaini, Ph.D, Sp.P.K.R, Subsp. Onk.T. (K)

Dr. Jamal Zaini, Ph.D, Sp.P.K.R, Subsp. Onk.T. (K), menjelaskan bahwa, “Mengenali faktor risiko kanker paru sangat penting. Beberapa faktor tersebut meliputi riwayat merokok, paparan zat karsinogenik, usia, serta riwayat kanker dalam keluarga. Bagi individu dengan faktor-faktor risiko ini, disarankan untuk melakukan skrining rutin sedini mungkin guna mendeteksi kanker paru pada tahap awal.”

Ia juga menambahkan bahwa LDCT sangat efektif untuk mendeteksi kanker dalam ukuran kecil sebelum gejala muncul. 

“Salah satu metode skrining yang direkomendasikan adalah Low-Dose Computed Tomography (LDCT), yang dapat membantu menurunkan angka kematian akibat kanker paru, terutama pada kelompok berisiko tinggi. LDCT mampu mendeteksi kelainan pada paru sejak dini dan dalam ukuran sangat kecil, bahkan sebelum munculnya gejala, sehingga memungkinkan intervensi lebih cepat dan peluang kesembuhan lebih besar," ujarnya.

Ilustrasi gambar paru-paru.

Skrining saja belum cukup. Setelah terdeteksi adanya indikasi kanker paru, pasien perlu menjalani serangkaian pemeriksaan lanjutan termasuk biopsi dan tes biomolekuler, seperti tes EGFR, terutama pada kasus kanker paru tipe Non-Small Cell Lung Cancer (NSCLC).

“Jika hasil skrining menunjukkan indikasi kanker, pasien akan disarankan menjalani biopsi untuk memastikan keganasan dan jenis kankernya. Jika teridentifikasi sebagai NSCLC adenokarsinoma, maka tes biomolekuler seperti EGFR sangat dianjurkan untuk menentukan terapi yang paling efektif,” ujar dr. Jamal.

Tes EGFR menjadi sangat relevan di Indonesia karena prevalensi mutasi gen ini tergolong tinggi. Berdasarkan meta-analisis dari 57 studi, prevalensi mutasi EGFR mencapai 49,1% pada pasien NSCLC stadium lanjut di Asia, jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah Eropa yang hanya 12,8%.

Bagi pasien dengan mutasi EGFR positif, terapi target menjadi pilihan utama yang lebih presisi dan efektif dibandingkan kemoterapi konvensional. Terapi ini terdiri dari tiga generasi, dengan generasi ketiga seperti osimertinib dirancang untuk mengatasi mutasi yang lebih kompleks dan menembus sawar darah otak dengan efek samping minimal.

Halaman Selanjutnya

Kanker paru sering kali terdiagnosis pada stadium lanjut, ketika peluang pengobatan menjadi lebih kompleks dan angka harapan hidup menurun drastis. CISC, sebagai mitra dalam kampanye ini, menekankan pentingnya skrining secara berkala, terutama bagi kelompok berisiko tinggi.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |