Gaza, VIVA - Rakyat Palestina di jalur Gaza menghadapi krisis kemanusian yang sangat parah imbas aksi blokade Israel. Banyak anak-anak Palestina yang kekurangan gizi sehingga berdampak terhadap kelaparan ekstrem.
Organisasi kemanusiaan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) melaporkan sebagian besar pasiennya adalah anak-anak yang kekurangan gizi dengan tahap awal maupun yang sudah tahap mengkhawatirkan.
Osama Qudeih, Dokter Pediatri di Klinik Al Aqsa B di Al-Mawassi, Gaza Selatan, yang dikelola MER-C bersama Kementerian Kesehatan (MoH) Palestina, menyampaikan dari sekitar 200 kasus yang ditanganinya, 40 hingga 50 di antaranya merupakan kasus malnutrisi serius.
"Kasus malnutrisi terutama terjadi pada anak-anak di bawah usia dua tahun, dengan penyebab utama berupa melemahnya sistem kekebalan tubuh mereka," kata Osama dalam keterangannya dikutip pada Selasa, 5 Mei 2025. "Hal itu juga disebabkan oleh kurangnya (defisiensi) berbagai ketersediaan jenis makanan," jelas Osama.
Dia bilang kelangkaan dan tidak adanya susu formula bayi di pasar berdampak sangat signifikan. Kondisi itu membuat anak-anak di Palestina mengalami krisis gizi. "Beberapa gejala yang muncul antara lain adalah penurunan berat badan, di mana dalam banyak kasus dapat menjadi sangat berbahaya," jelas Osama.
Potret warga dan anak-anak di Palestina tersenyum dan antusias untuk menyambut bulan suci Ramadan (Doc: TRT World)
Photo :
- VIVA.co.id/Natania Longdong
Menurut dia, untuk menangani kondisi tersebut, Kementerian Kesehatan sempat memberikan suplemen gizi secara rutin ke klinik tersebut.
Namun, stok yang tersedia mulai menipis karena kebutuhan terus meningkat. Selain itu, pasokan di pasaran semakin terbatas.
Dokter Spesialis Ortopedi di Rumah Sakit Indonesia, Basel Al-Basyouni, mengatakan kondisi kelaparan juga terasa di wilayah utara Jalur Gaza.
Dia mengatakan wilayah itu saat ini menderita kelaparan luar biasa di tengah genosida yang dilakukan Israel.
Israel masih terus melakukan serangan udara yang menyasar lembaga masyarakat. Lalu, disasar pula tempat tinggal warga sipil, dan gudang mpanan makanan. Aksi blokade yang terus berlanjut menyebabkan lonjakan drastis harga bahan pangan.
Dampak kebrutalan Israel bisa dirasakan oleh penduduk Gaza, khususnya para pencari nafkah.
"Sebagai pencari nafkah bagi keluarga, saya menghadapi kesulitan ekstrem dalam memenuhi kebutuhan makanan pokok anak-anak saya, karena kurangnya sumber pendapatan," kata Basel.
Dia menceritakan jika dirinya mampu membeli kebutuhan warga Gaza maka masih ada kesulitan lainnya.
"Kalaupun saya mampu membeli kebutuhan mereka, saya merasa kesulitan berinteraksi dengan anak-anak saya. Terutama anak-anak saya yang masih kecil, karena saya merasa tidak dapat menyediakan makanan yang cukup layak bagi mereka," imbuhnya.
Menurut dia, keluarganya saat ini hanya mampu makan sekali sehari. Kata Basel, ia bahkan mesti membagi sepotong roti kepada seluruh anggota keluarganya.
Ia bilang untuk semua kebutuhan rumah tangga masyarakat, seperti persediaan bahan makanan dan makanan kaleng, telah habis.
Situasi tersebut menimbulkan banyak anak yang kekurangan gizi. Berat badan mereka mengalami penurunan antara 5 hingga 10 kilogram.
Ia mengamati kekurangan gizi menyebabkan penyembuhan luka pasien menjadi sangat lambat atau bahkan gagal.
"Pasien-pasien ini membutuhkan nutrisi yang sehat dan makanan yang mengandung protein, vitamin, karbohidrat, dan gula. Dulu, luka-luka seperti itu dapat sembuh dalam waktu singkat, tetapi sekarang memerlukan waktu dua kali lipat atau lebih lama untuk pulih," katanya.
Dia juga menyampaikan banyak pasien saat ini mengalami kulit pucat (pallor), kelemahan umum dan anemia, yang menyebar hampir ke seluruh pasien.
Adapun sistem kekebalan tubuh yang lemah memicu penyebaran infeksi dan epidemi makin sulit dicegah. "Kami bahkan hampir tidak dapat menjalankan tugas kami secara menyeluruh akibat rasa lelah yang sudah akut," ujarnya.
Basel juga mengaku kehilangan sekitar 30 kilogram berat badan. Pun, rekan-rekannya mengalami kondisi yang sama karena kurangnya makanan, terutama daging.
"Keputusasaan dan rasa tidak ada harapan 1mulai menguasai kehidupan profesional kami, yang berdampak negatif. Khususnya pada pasien yang sedang terluka, dan masyarakat pada umumnya," ujar Basel. (Ant)
Halaman Selanjutnya
Namun, stok yang tersedia mulai menipis karena kebutuhan terus meningkat. Selain itu, pasokan di pasaran semakin terbatas.