Jakarta, VIVA – Dalam percakapan sehari-hari, tatapan mata adalah bagian penting dari komunikasi nonverbal. Namun, tidak semua orang merasa nyaman mempertahankan kontak mata saat berbicara.
Ada yang sesekali menunduk, mengalihkan pandangan, atau bahkan terus-menerus menghindari tatapan.
Dari sudut pandang psikologi, perilaku ini ternyata bisa mengungkapkan banyak hal tentang kondisi emosional atau budaya seseorang.
1. Rasa Malu dan Kurangnya Percaya Diri
Salah satu alasan paling umum seseorang menghindari tatapan mata adalah rasa malu atau kurang percaya diri. Menurut American Psychological Association (APA), individu dengan tingkat self-esteem rendah cenderung mengurangi intensitas kontak mata untuk menghindari perasaan terekspos.
Kurangnya percaya diri.
Photo :
- http://www.chicmagz.com/system/images/Pria-Enggak-Pede.jpg
"Ketika seseorang merasa rentan, mereka cenderung menghindari tatapan langsung sebagai bentuk perlindungan diri," tulis APA dalam kamus psikologinya.
Penelitian dalam Journal of Nonverbal Behavior (Schneier et al., 2016) juga menemukan bahwa orang dengan gangguan kecemasan sosial (social anxiety disorder) seringkali menghindari kontak mata karena merasa diawasi atau dinilai negatif oleh lawan bicara.
2. Bentuk Ketidaknyamanan Emosional
Menghindari tatapan mata juga bisa menjadi sinyal ketidaknyamanan emosional. Pakar komunikasi nonverbal Dr. David Matsumoto menjelaskan, "Ketika seseorang mengalami emosi yang kuat, seperti kecemasan atau rasa bersalah, mereka secara alami mengurangi kontak mata untuk mengatur emosinya," ujar Matsumoto dalam tulisannya di Psychology Today.
Jadi, saat seseorang tiba-tiba mengalihkan pandangan dalam obrolan serius, bisa jadi ia sedang berjuang menahan tekanan emosional di dalam dirinya.
3. Faktor Budaya Ikut Membentuk Kebiasaan Ini
Dalam konteks budaya, menghindari tatapan mata tidak selalu berarti rasa malu atau rendah diri. Dalam budaya Asia seperti Jepang dan Korea, misalnya, terlalu lama menatap mata orang yang lebih tua atau atasan dianggap kurang sopan.
Samovar, Porter, dan McDaniel dalam buku Intercultural Communication: A Reader menuliskan bahwa "di banyak budaya, menghindari kontak mata adalah tanda hormat, bukan tanda ketidaknyamanan."
Artinya, perilaku ini tidak bisa dipukul rata sebagai tanda masalah psikologis, kadang ini justru bagian dari norma sosial.
4. Terkait Kondisi Psikologis Khusus
Dalam beberapa kasus, menghindari tatapan mata juga berkaitan dengan kondisi psikologis tertentu.
National Autistic Society menyebutkan bahwa individu dengan spektrum autisme sering kali merasa kontak mata terlalu intens atau mengganggu sensorik mereka.
"Bagi banyak orang autistik, menjaga kontak mata terasa tidak alami atau bahkan menyakitkan," jelas organisasi tersebut.
Selain autisme, beberapa orang dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) juga menunjukkan pola serupa, terutama saat kesulitan mempertahankan fokus dalam percakapan.
Tips Mengatasi Kesulitan Menjaga Tatapan Mata
Kalau kamu termasuk orang yang merasa canggung menatap mata saat berbicara, berikut beberapa tips sederhana yang bisa dicoba:
- Lihat di area sekitar mata: Fokuskan pandangan di antara alis atau di ujung hidung lawan bicara. Ini memberi ilusi kontak mata tanpa tekanan langsung.
- Gunakan Teknik 50/70 Rule: Dalam percakapan, usahakan menjaga kontak mata sekitar 50% saat berbicara, dan 70% saat mendengarkan. Ini memberi ritme alami tanpa membuatmu merasa canggung.
- Latihan di Depan Cermin: Berlatih berbicara sambil menatap mata diri sendiri di cermin dapat meningkatkan rasa nyaman terhadap kontak mata.
- Mulai dengan Sesi Percakapan Singkat: Cobalah berbicara singkat sambil menjaga kontak mata, seperti menyapa resepsionis atau kasir. Latihan kecil ini membantu membangun kebiasaan perlahan.
- Kenali Batasan Diri: Jika kontak mata membuatmu sangat tidak nyaman, tidak apa-apa untuk sesekali mengalihkan pandangan. Yang penting adalah menjaga keseimbangan agar tetap sopan dan alami.
Kesimpulan
Menghindari tatapan mata saat berbicara bisa disebabkan oleh banyak faktor: rasa malu, ketidaknyamanan emosional, norma budaya, hingga kondisi psikologis tertentu.
Dari kacamata psikologi, perilaku ini merupakan bentuk adaptasi terhadap tekanan sosial atau emosional yang dialami seseorang.
Daripada langsung menilai seseorang yang menghindari kontak mata sebagai tidak sopan atau tidak percaya diri, memahami latar belakang psikologisnya membuat kita lebih bijak dalam berinteraksi.
Halaman Selanjutnya
Penelitian dalam Journal of Nonverbal Behavior (Schneier et al., 2016) juga menemukan bahwa orang dengan gangguan kecemasan sosial (social anxiety disorder) seringkali menghindari kontak mata karena merasa diawasi atau dinilai negatif oleh lawan bicara.