Jakarta, VIVA – United in Diversity (UID) menggelar "Perayaan Kelulusan Program Bersama Kelola Alam Adil Lestari (BEKAL) Pemimpin 4.0" pada Jumat 25 April 2025, di Hotel Borobudur Jakarta.
Acara ini dimaknai sebagai capaian tonggak kepemimpinan dan praktisi muda yang telah menyelesaikan serangkaian pembelajaran intensif selama hampir 6 bulan untuk menumbuhkan kesadaran sistem secara holistik dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) berkelanjutan di Indonesia. Scroll untuk info lengkapnya, yuk!
Program BEKAL Pemimpin 4.0 dimulai pada November 2024 dan melibatkan 57 peserta terpilih dari 25 provinsi di Indonesia. Mereka berasal dari beragam sektor yang berkontribusi dalam pengelolaan SDA, termasuk pemerintah pusat dan daerah, sektor swasta, pelaku usaha lokal, organisasi masyarakat sipil lokal dan nasional, akademisi, media, hingga kelompok masyarakat. Fokus isu yang mereka geluti pun beragam, mencakup isu-isu terestrial, kelautan, tata kelola lintas sektor, serta kebijakan publik.
President of United in Diversity, Tantowi Yahya, menjelaskan para peserta program BEKAL Pemimpin ini diberi pembekalan yang bermacam-macam. Baik untuk diri sendiri, orang lain, bahkan untuk alam.
“Pembekalan itu bermacam-macam, ada yang untuk pribadi mereka, misalnya bagaimana mereka bisa menjadi pribadi yang mempunyai kemampuan menganalisa dengan baik,” ujar Tantowi Yahya ditemui usai acara kelulusan.
Menurut pembawa acara yang populer lewat kuis Who Wants to Be a Millionaire? itu, berkaca dari teori U yang diciptakan oleh orang Indonesia, yaitu Profesor Otto Scharmer, bisa mengajarkan kita menjadi lebih bijak dalam melakukan sesuatu.
“Jadi kita mampu melakukan analisa suatu keputusan, kita bisa menyelami keputusan sampai jadi seperti ini prosesnya seperti apa. Kalau kita sudah mampu melakukan itu, maka kita tidak menjadi judge mental, tidak menjadi manusia yang berkomentar, terutama untuk hal-hal yang kita sendiri gak ngerti,” bebernya.
“Banyak yang terjadi di dunia ini, orang itu keras sekali komentar, ketika ditanya dia sendiri tidak tahu yang dia komentari itu apa. Jadi, salah satunya itu yang untuk dirinya sendiri,” tambahnya.
Nah sementara BEKAL Pemimpin yang diajarkan untuk alam, menurut Tantowi, prosesnya sendiri terpadu. Bagaimana nantinya para peserta bisa melakukan pengelolaan terhadap alam Indonesia yang kaya ini agar tetap sustain. Sebab menurutnya, sustainability merupakan konsep dasar dari sebuah nilai atau aset yang akan diwariskan kepada generasi berikutnya.
“Kemudian berkeadilan. Berkeadilan artinya bahwa semua orang itu harus mendapatkan manfaatnya secara proporsional. Artinya lawan dari komunal. Kalo komunis itu kan semua orang rata, kerja gak kerja, kaya gak kaya, semua harus sama. Kalau kita kan proporsional. Mereka yang bekerja, berkontribusi, tentu harus mendapatkan benefit yang lebih. Tapi yang tidak pun, harus mendapatkan haknya,” tuturnya.
Bekal berikutnya adalah kearifan lokal. Tantowi Yahya mengatakan, sudah sepatutnya kita bangga dengan negeri sendiri, karena kita punya banyak sekali kearifan lokal, terutama pada level daerah.
“Katakanlah Bali, Bali itu punya kearifan lokal namanya Tri Hita Karana, adalah tiga cara untuk menuju kebahagiaan. Orang Islam juga punya, tiga cara menuju kebahagiaan, yaitu Habluminallah, habluminannas, dan hablum minal 'alam,” jelasnya.
“Orang Bali juga, kalau kita mau bahagia, kalau mau masa depan kita bagus, kita harus mampu berdamai, berkompromi dengan manusia, dengan alam, dan juga dengan Sang Pencipta. Itu adalah local wisdom pada tataran daerah. Tentu di daerah temen-temen ada juga. Ada semacam ikatan yang membuat kenapa masyarakatnya menjadi seperti itu. Bagi pendatang mereka harus hormati itu,” tambahnya.
Sementara dalam tataran nasional, ada gotong-royong yang sudah menjadi warisan nenek moyang dan harus terus dilestarikan. Sebab menurut kakak dari Helmy Yahya itu, gotong-royong hanya ada di Indonesia, dan tidak dimiliki negara lain.
“Makanya di Indonesia tidak mengenal mati kelaparan. Walaupun gak punya duit, kita ketok rumah sebelah dapet makan kita. Kedua, di Indonesia gak ada project, pekerjaan besar, yang tidak bisa dikerjakan, karena di kampung mindahin rumah aja gak pake duit, bisa sama-sama,” tukasnya.
“Kita tinggal di kota kalau bikin pesta pakai event organizer, pakai katering, kalau di kampung itu tidak ada. Semua orang itu masak, urunan (patungan). Nah, gotong-royong ini yang kita jaga,” imbuhnya.
“Dalam konteks yang lebih filosofis, Indonesia punya Pancasila. Itulah yang membuat kita terikat dalam suatu semangat yang namanya kebangsaan Indonesia. Itu yang kita sebut dengan kearifan lokal,” tutup Tantowi Yahya.
Halaman Selanjutnya
“Jadi kita mampu melakukan analisa suatu keputusan, kita bisa menyelami keputusan sampai jadi seperti ini prosesnya seperti apa. Kalau kita sudah mampu melakukan itu, maka kita tidak menjadi judge mental, tidak menjadi manusia yang berkomentar, terutama untuk hal-hal yang kita sendiri gak ngerti,” bebernya.