Cerita Cak Nun Soal Soeharto Lengser: Di Balik 21 Mei 1998 yang Tak Semua Orang Tahu

6 hours ago 4

Jakarta, VIVA – 21 Mei 1998 menjadi hari yang tak terlupakan dalam sejarah Indonesia. Pada tanggal itulah Presiden Soeharto resmi menyatakan mundur dari jabatannya setelah memimpin Indonesia selama 32 tahun. Namun, di balik peristiwa monumental itu, tersimpan cerita-cerita penting dari tokoh-tokoh bangsa, salah satunya Emha Ainun Nadjib, atau yang akrab disapa Cak Nun.

Dalam berbagai forum diskusi, ceramah, hingga wawancara, Cak Nun pernah membagikan pengalamannya terlibat secara tidak langsung dalam momen transisi kekuasaan paling dramatis dalam sejarah Indonesia modern. Cerita itu tidak hanya menggambarkan situasi politik kala itu, tetapi juga menyingkap sisi kemanusiaan dari seorang Soeharto, serta bagaimana dinamika elite dan rakyat berjalan dalam ketegangan.

Ketika Bangsa di Ujung Tanduk, Cak Nun Jadi Penengah

Menjelang kejatuhan Soeharto, Indonesia berada dalam situasi krisis multidimensi: ekonomi runtuh akibat krisis moneter Asia 1997, gejolak sosial meluas, kerusuhan pecah di berbagai kota, dan mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR. Dalam suasana genting itulah, Cak Nun bersama sejumlah tokoh sipil dan tokoh agama diminta menjadi jembatan komunikasi antara rakyat dan pemerintah.

Dalam kesaksiannya, Cak Nun mengungkap bahwa ia dihubungi oleh orang-orang dekat istana untuk membantu menenangkan suasana, sekaligus menyampaikan pesan-pesan dari pihak elite kepada masyarakat agar tidak bertindak anarkis. Namun, sebagai seorang budayawan dan intelektual rakyat, Cak Nun juga berdiri bersama mahasiswa dan masyarakat sipil, menolak kekerasan dan mendorong transisi damai.

“Waktu itu saya bukan bagian dari istana, tapi saya juga tidak menolak kalau diminta bicara dengan siapa pun. Saya ingin negara ini selamat,” ujar Cak Nun dalam salah satu forum Maiyah yang pernah digelar pada peringatan Reformasi.

Budayawan Emha Ainun Najib atau Cak Nun di acara Ngaji Bareng PDIP

Soeharto Ingin Bertahan, Tapi Rakyat Sudah Lelah

Cak Nun juga membagikan cerita bahwa beberapa jam sebelum Soeharto benar-benar lengser, ada upaya dari pihak istana untuk mencari jalan keluar agar sang Presiden bisa tetap bertahan. Salah satu usulan yang sempat muncul adalah membentuk Dewan Reformasi atau kabinet transisi, dengan Soeharto tetap sebagai presiden sementara.

Namun, menurut Cak Nun, “itu sudah terlambat. Rakyat sudah kehilangan kepercayaan, mahasiswa sudah menempati DPR, dan TNI pun sudah memberi sinyal tidak akan lagi membela kekuasaan.”

Yang menarik, Cak Nun juga menyebut bahwa Soeharto bukan tidak tahu situasi. Ia sadar, tapi sulit menerima bahwa kekuasaan yang ia bangun selama tiga dekade bisa runtuh hanya dalam hitungan hari. Dalam berbagai refleksinya, Cak Nun menggambarkan Soeharto sebagai pribadi yang keras kepala, tetapi tetap punya sisi manusiawi yang menyesali keadaan.

Di Balik Kamera: Tangisan dan Keheningan

Dalam salah satu pengakuannya, Cak Nun menyebut bahwa detik-detik Soeharto menyampaikan pidato pengunduran diri pada 21 Mei 1998 adalah momen yang sangat emosional. Meski tampak tenang di layar televisi, di balik layar ada air mata, keheningan, dan rasa kehilangan. Bukan hanya dari Soeharto, tapi juga dari para pejabat yang menyadari bahwa era Orde Baru telah benar-benar berakhir.

Pidato pengunduran diri presiden Soeharto tahun 1998

Pelajaran dari Cak Nun: Reformasi Bukan Akhir, Tapi Awal

Meski ikut menyaksikan proses kejatuhan Soeharto dari dekat, Cak Nun tidak pernah melihat Reformasi sebagai kemenangan semata. Bagi dia, Reformasi adalah awal dari tanggung jawab baru: menjaga demokrasi, mengawasi kekuasaan, dan membangun peradaban.

Ia sering mengingatkan bahwa lengsernya Soeharto hanyalah kulit dari masalah besar yang lebih dalam, yakni kebobrokan sistem, krisis moral, dan lemahnya kesadaran kolektif. Oleh karena itu, sejak 1998 hingga kini, Cak Nun konsisten berada di tengah masyarakat melalui forum-forum Maiyah, menyuarakan pemikiran kritis, spiritualitas, dan pentingnya membangun bangsa dengan hati.

Dari Istana ke Rakyat, Sebuah Catatan Nurani

Cerita Cak Nun tentang proses lengsernya Soeharto bukan sekadar catatan sejarah alternatif. Ia adalah refleksi nurani bangsa: bahwa kekuasaan tanpa legitimasi rakyat tak akan pernah abadi. Bahwa perubahan tak cukup hanya dengan mengganti pemimpin, tetapi harus disertai dengan transformasi moral dan budaya.

Kini, 27 tahun setelah peristiwa itu, suara Cak Nun masih relevan: demokrasi bukan tujuan akhir, tetapi alat untuk menghadirkan keadilan dan kemanusiaan. Dan itu semua, baru bisa terjadi jika kita terus belajar dari sejarah — termasuk dari kisah Soeharto, dan dari nurani-nurani seperti yang disuarakan Cak Nun.

Halaman Selanjutnya

Soeharto Ingin Bertahan, Tapi Rakyat Sudah Lelah

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |