VIVA – “Pak Dedi itu bukan cuma pejabat. Beliau seperti bapak sendiri,” ujar seorang pengguna Facebook yang menonton video blusukan Kang Dedi Mulyadi (KDM) ke rumah warga kurang mampu. Ungkapan seperti ini bukan hanya satu-dua. Setiap konten yang diunggah KDM di media sosial seperti TikTok, Instagram, Facebook, atau YouTube seringkali dibanjiri komentar haru, tawa, dan dukungan tulus.
KDM telah mengabadikan kesehariannya sejak 2017 saat menjabat sebagai Bupati Purwakarta, Jawa Barat, dan membaginya melalui media sosial, seperti kanal YouTube dan akun instagramnya. Kanal YouTube Dedi Mulyadi, dengan nama "KANG DEDI MULYADI CHANNEL" diluncurkan pada 16 November 2017. Kanal yang menggunakan jargon “Bapak Aing: Ngurus Lembur, Nata Kota” tersebut menunjukkan aktivitas yang sangat tinggi, hingga April 2025 kanal YouTube tersebut telah memiliki lebih dari 6 juta subscribers dan secara total dari seluruh konten videonya yang diunggah berjumlah 4.223 video tersebut telah ditonton sebanyak 1.974.803.003 kali, dan jika ditelaah hampir setiap hari terdapat video konten baru yang diunggah dalam kanal YouTube tersebut. Tak hanya di YouTube, KDM juga berbagi ribuan konten melalui akun Instagramnya @dedimulyadi71, yang memiliki lebih dari 2,6 followers.
Produksi konten KDM semakin meningkat dan intens sejak resmi menjabat Gubernur Jawa Barat, 20 Februari 2025. KDM aktif turun ke lapangan ketimbang berada di kantornya, menyambangi walikota dan bupati yang berada di bawah koordinasinya, memungut sampah, mendatangi lokasi banjir dan membongkar bangunan penyebab banjir kiriman di Puncak Bogor. KDM seperti hendak menyelami kehidupan warganya untuk melayani dan mencari solusi atas masalah yang mereka hadapi, serta untuk membekali dirinya agar efektif memimpin Jawa Barat.
KDM bukan hanya hadir sebagai figur publik di dunia nyata. Dia menjelma menjadi fenomena digital yang berhasil menaklukkan algoiritma platform digital dan hati masyarakat. Yang menarik konten KDM bukan konten sensasional, tapi justru yang sederhana, empatik, dan membumi.
Fenomena ini mengajarkan kita sesuatu yang penting: memahami perilaku penyimak media sosial, baik sebagai warga biasa maupun sebagai pelaku komunikasi atau brand. Apa yang membuat seseorang berhenti scrolling lalu memutuskan menyimak konten, lalu dengan sukarela membagikannya?
Michael R. Solomon dalam bukunya Consumer Behavior; Buying, Having, and Being menjelaskan bahwa konsumen tidak sekadar membeli barang dan jasa. Mereka membeli makna, pengalaman, dan emosi (Solomon, 2020). Dalam konteks media sosial, penyimak tidak hanya menonton konten melainkan juga mengalami.
Ketika melihat KDM menyapa kakek renta di pinggir jalan, atau memeluk anak yatim sambil tersenyum, audiens tidak hanya mengamati. Mereka ikut merasakan. Inilah yang disebut Solomon sebagai affective respons atau respons emosional yang mendorong keterikatan dan loyalitas.
Menurut teori motivasi dalam perilaku konsumen, orang tertarik pada sesuatu karena dua dorongan utama, yakni utilitarian (bermanfaat) dan hedonic (menyenangkan). Konten KDM mampu menjawab keduanya.
Secara utilitarian, penyimak merasa mendapatkan informasi dan keteladanan tentang bagaimana seorang pejabat seharusnye bersikap. Secara hedonic, kontennya ringan, menghibur, dan menyentuh perasaan. Ini sesuai dengan yang dijelaskan Solomon bahwa “consumers often buy not for what a product does, but for what it means emotionally” (Solomon, 2020).
Di dunia media sosial, perhatian pengguna sangat singkat. Solomon menyebutnya sebagai selective attention, di mana konsumen menyaring hanya hal-hal yang dianggap penting, relevan, atau menyentuh. Video KDM yang berdurasi pendek tetapi kuat narasinya mampu menembus lapisan ini. Dia tak butuh efek sinematik; cukup dialog jujur dan momen nyata. Ini membuat kontennya terlihat dan terdengar berbeda di tengah membanjirnya konten digital di media sosial.
Namun tidak semua orang melihat KDM dengan cara yang sama. Ada yang memuji, ada pula yang sinis. Ini berkaitan dengan persepsi subjektif, yang menurut Solomon, terbentuk dari pengalaman pribadi, nilai hidup, dan budaya yang melatarbelakangi seseorang/individu.
Solomon menulis, “Perception is not what is actually present, but what the consumer interprets." Artinya, realitas bisa sama, tapi ditafsirkan berbeda-beda. Maka, keberhasilan KDM adalah pada konsistensi pesan yang membuat persepsi positif lebih dominan.
Fenomena penyimak yang tidak hanya menonton tapi ikut menyebarkan konten dan membela tokoh, adalah bentuk dari loyalitas konsumen. Dalam marketing, ini disebut brand loyalty, tetapi dalam politik digital, hal ini bisa menjadi public trust.
Dalam salah satu unggahannya, KDM menulis, “Kalau saya turun ke lapangan, bukan karena kamera, tapi karena hati. Kamera itu hanya saksi.” (KDM Official, Instagram, 2025). Pernyataan ini memperkuat persepsi bahwa ia bukan sedang “berakting”, tapi memang hidup dalam nilai yang ia tampilkan. Ini yang memperkuat ikatan emosi dengan penyimak.
Dari fenomena KDM, ada beberapa pelajaran berharga bagi siapa pun –baik personal, publik figur maupun institusi— yang ingin membangun komunikasi efektif di media sosial:
Keterhubungan lebih penting dari kesempurnaan. Konten yang natural, penuh empati, dan otentik akan lebih mudah menyentuh hati dibanding konten yang terlalu rapi dan dibuat-buat.
Bangun narasi, bukan sekadar unggahan. Penyimak merespons cerita, bukan hanya pada informasi. Kisah-kisah yang menyentuh lebih berdampak daripada paparan data statistik yang kering.
Konsistensi menciptakan kepercayaan. Seperti dikatakan Solomon, “Trust is built on repeated exposure to consistent values.” Jika konten Anda stabil dalam menyampaikan pesan, audiens akan lebih mudah percaya.
Sadar bahwa audiens aktif, bukan pasif. Penyimak media sosial kini adalah partisipan. Mereka tidak hanya menonton, tapi juga menilai, menyebarkan, bahkan menanggapi dan mengoreksi.
Media sosial adalah ruang publik modern, di mana audiensnya bukan lagi massa anonim, tapi individu dengan harapan, emosi, dan intepretasi. Memahami audiens adalah kunci untuk membangun hubungan yang kuat. Kang Dedi Mulyadi membuktikan bahwa di era digital, yang paling didengar bukanlah yang paling keras, melainkan yang paling dekat dengan hati.
Halaman Selanjutnya
Menurut teori motivasi dalam perilaku konsumen, orang tertarik pada sesuatu karena dua dorongan utama, yakni utilitarian (bermanfaat) dan hedonic (menyenangkan). Konten KDM mampu menjawab keduanya.
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.