Tak Goyah Hadapi Tarif Trump yang Gila-gilaan, China Pilih Ambil Langkah Ini

4 hours ago 1

Senin, 21 April 2025 - 13:50 WIB

Jakarta, VIVA – Di tengah situasi global yang kian penuh tekanan, terutama dari hubungan dagang yang memanas dengan Amerika Serikat, China tetap memilih langkah hati-hati. Alih-alih memangkas suku bunga untuk mendorong pertumbuhan, bank sentral negara tersebut lebih fokus menjaga stabilitas mata uang yuan agar tidak melemah terlalu jauh.

Pada Senin, 21 April 2025, Bank Rakyat China atau People's Bank of China (PBOC), secara konsisten mempertahankan suku bunga pinjaman utama (Loan Prime Rate/LPR) tidak berubah. LPR tenor 1 tahun tetap di level 3,1 persen, sementara LPR 5 tahun dipatok di 3,6 persen. 

Keputusan ini diambil setelah data ekonomi China untuk kuartal pertama tahun ini menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, sehingga memberikan ruang bagi otoritas moneter untuk menahan suku bunga.

Produk domestik bruto (PDB) China pada kuartal pertama tumbuh 5,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Tak hanya itu, angka penjualan ritel dan output industri untuk bulan Maret juga melampaui ekspektasi ekonom.

LPR 1 tahun, biasanya memengaruhi bunga kredit korporasi dan rumah tangga, sedangkan LPR 5 tahun menjadi acuan utama suku bunga hipotek. PBOC sendiri telah mempertahankan LPR di level ini sejak Oktober tahun lalu. 

Bendera Amerika Serikat (AS) dan China.

Setelah pengumuman tersebut, nilai tukar yuan di pasar domestik nyaris tidak berubah di angka 7,2995 per dolar AS. Sementara itu, yuan di pasar luar negeri menguat tipis menjadi 7,2962 per dolar AS. Indeks saham CSI 300 di China daratan pun ikut naik 0,36 persen.

Keputusan PBOC ini sejalan dengan jajak pendapat di mana data menunjukkan 87 persen ekonom memperkirakan bank sentral tidak akan mengubah suku bunga. Bank asal Belanda, ING, dalam catatan pekan lalu juga menyebut bahwa PBOC kemungkinan besar akan mempertahankan LPR, kecuali suku bunga repo 7 hari dipangkas terlebih dahulu. 

Saat ini, repo rate 7 hari berada di 1,5 persen dan terakhir kali dipotong sebesar 20 basis poin pada September lalu. "Inflasi yang rendah dan tekanan eksternal yang kuat akibat meningkatnya ancaman tarif memberikan alasan kuat untuk pelonggaran kebijakan," catat ING, seperti dikutip dari CNBC, Senin.

"Tapi pertimbangan untuk menstabilkan mata uang kemungkinan akan membuat PBOC menunggu hingga Federal Reserve AS memangkas suku bunga," tambahnya.

Sementara itu, Ekonom Sumitomo Mitsui Banking Corporation, Ryota Abe, mengungkapkan bahwa PBOC kecil kemungkinan akan menggunakan mata uang sebagai alat untuk mengatasi tekanan ekonomi. "Karena hal ini berpotensi memicu arus keluar modal yang besar," ujarnya.

Amerika Serikat sendiri telah menetapkan tarif hingga 245 persen terhadap impor dari China, sementara China membalas dengan tarif hingga 125 persen untuk produk-produk dari AS.

Meskipun data pertumbuhan ekonomi terbilang positif, tekanan deflasi masih menghantui China. Indeks harga konsumen (CPI) pada Maret tercatat turun 0,1 persen dibanding tahun lalu, sedangkan harga produsen (PPI) merosot 2,5 persen, menjadi bulan ke-29 berturut-turut dalam zona deflasi dan kontraksi terbesar sejak November 2024.

Halaman Selanjutnya

Keputusan PBOC ini sejalan dengan jajak pendapat di mana data menunjukkan 87 persen ekonom memperkirakan bank sentral tidak akan mengubah suku bunga. Bank asal Belanda, ING, dalam catatan pekan lalu juga menyebut bahwa PBOC kemungkinan besar akan mempertahankan LPR, kecuali suku bunga repo 7 hari dipangkas terlebih dahulu. 

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |