Jangan Anggap Remeh Irritable Bowel Syndrome, Kenali Penyebab, Gejala, Diagnosis, dan Pengobatannya

9 hours ago 1

Jakarta, VIVA –   Irritable Bowel Syndrome (IBS) adalah gangguan pencernaan yang sering kali dianggap sepele karena tidak menyebabkan kerusakan permanen pada usus. Namun, bagi penderitanya, IBS dapat menjadi kondisi yang sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Gangguan ini tidak bersifat menular atau berbahaya, tetapi dapat menurunkan kualitas hidup akibat ketidaknyamanan yang ditimbulkannya. 

Dr. dr. I Ketut Mariadi, Sp.PD-KGEH, FACG, FINASM, yang merupakan dokter spesialis penyakit dalam konsultan gastroenterohepatologi di RS Siloam Denpasar Bali, akan memberikan informasi mendalam mengenai IBS.

Dr. dr. I Ketut Mariadi, SpPD, KGEH, FACG, FINASIM

Dr. dr. I Ketut Mariadi, Sp.PD-KGEH, FACG, FINASM

Pengertian Irritable Bowel Syndrome (IBS)
Menurut Dr. dr. I Ketut Mariadi, Irritable Bowel Syndrome (IBS) merupakan gangguan fungsional pada sistem pencernaan yang memengaruhi usus besar. Kondisi ini menyebabkan perubahan pola buang air besar yang tidak teratur, disertai kram perut, kembung, diare, atau konstipasi. IBS bersifat kronis, sehingga dapat memengaruhi kualitas hidup penderitanya. Meskipun demikian, IBS tidak menyebabkan kerusakan struktural pada usus seperti penyakit radang usus (IBD) atau penyakit celiac.

Meskipun IBS sering dianggap sebagai penyakit yang kurang serius, namun penanganan yang tepat sangat diperlukan agar gejalanya tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Beliau menegaskan, “IBS bukanlah penyakit yang mengancam nyawa, tetapi dapat sangat mengganggu kehidupan sehari-hari jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, diagnosis yang benar dan edukasi pasien sangat penting.”

Penyakit Fungsional dan Penyakit Organik
Gangguan pencernaan dapat dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu penyakit fungsional dan penyakit organik: 
•    Penyakit fungsional adalah gangguan pada fungsi organ tanpa adanya kelainan struktural yang terlihat pada pemeriksaan medis. IBS termasuk dalam kategori ini, di mana usus mengalami gangguan dalam fungsi normalnya tanpa adanya peradangan atau kerusakan jaringan yang dapat dideteksi melalui tes pencitraan. 
•    Penyakit organik adalah gangguan yang disebabkan oleh kelainan struktural atau inflamasi, seperti penyakit radang usus (IBD), kanker usus, atau penyakit celiac. Penyakit ini biasanya dapat terdeteksi melalui pemeriksaan seperti endoskopi atau biopsi.

“IBS termasuk dalam kategori penyakit fungsional, di mana tidak ditemukan kelainan fisik pada usus, tetapi fungsinya terganggu. Oleh karena itu, pendekatan pengobatannya lebih berfokus pada manajemen gejala dan perubahan gaya hidup,” jelas Dr. dr. I Ketut Mariadi.

Gejala dan Subtipe IBS
Gejala IBS bervariasi pada setiap individu, tetapi umumnya meliputi sakit atau kram perut yang mereda setelah buang air besar, perubahan frekuensi dan konsistensi tinja, perut kembung, serta produksi gas berlebih. Untuk memudahkan mengingat, gejala IBS bisa disingkat dengan ABCD, Abdominal pain (sakit perut), Bloated ( kembung), Constipation ( konstipasi), Diarrhea (diare). Berdasarkan pola buang air besar, IBS dikategorikan ke dalam empat subtipe, yaitu:
•    Tipe Konstipasi: Didominasi oleh konstipasi (> 25 persen gejala) dengan tinja keras dan sulit dikeluarkan.
•    Tipe Diare: Gejala utama berupa diare (> 25 persen gejala) dengan tinja encer dan frekuensi buang air besar yang lebih sering.
•    Tipe Campuran: Ditandai dengan pola buang air besar yang bergantian antara diare dan konstipasi (masing-masing > 25 persen).
•    Tipe yang tidak terklasifikasikan: gejala diare dan konstipasi < 25 persen.

Faktor Pemicu dan Pengaruh Stres terhadap IBS
Ada beberapa faktor yang dapat memicu atau memperburuk gejala IBS, seperti: 
•    Faktor Makanan: Makanan tertentu dapat menjadi pemicu utama IBS, terutama yang mengandung tinggi lemak, makanan pedas, produk susu bagi yang intoleran laktosa, serta makanan tinggi FODMAP (Fermentable Oligosaccharides, Disaccharides, Monosaccharides, and Polyols). 

Zat-zat ini sulit dicerna oleh usus kecil dan dapat menyebabkan fermentasi berlebih di usus besar, yang memicu kembung, nyeri, serta perubahan pola buang air besar. Selain itu, konsumsi alkohol, kafein, dan pemanis buatan seperti sorbitol juga dapat memperburuk gejala IBS.

•    Faktor Psikis: Sumbu otak-usus berperan penting dalam regulasi sistem pencernaan, sehingga stres dan kecemasan dapat menyebabkan kontraksi usus yang berlebihan atau memperlambat gerakan usus. Stres yang berkepanjangan juga dapat meningkatkan sensitivitas usus terhadap rasa sakit dan memperburuk respons sistem pencernaan terhadap makanan tertentu. 

Oleh karena itu, penderita IBS sering mengalami peningkatan gejala saat menghadapi tekanan emosional atau kecemasan berlebihan. Meskipun tidak sepenuhnya bersifat genetik, penelitian menunjukkan bahwa riwayat keluarga dengan IBS dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami gangguan ini.

Makanan yang Harus Dihindari Penderita IBS
Penderita IBS perlu memperhatikan makanan yang mereka konsumsi agar gejalanya tidak semakin memburuk. Menurut Dr. dr. I Ketut Mariadi, “Beberapa makanan tertentu dapat memicu gejala IBS, seperti makanan berlemak tinggi, pedas, berminyak, produk susu bagi yang intoleran laktosa, serta makanan tinggi FODMAP yang dapat menyebabkan fermentasi berlebihan di usus.” 

Beberapa jenis makanan yang sebaiknya dihindari oleh penderita IBS antara lain:
•    Makanan tinggi FODMAP: seperti bawang putih, bawang bombay, apel, semangka, dan kembang kol.
•    Makanan berlemak tinggi: seperti gorengan, makanan cepat saji, dan produk olahan yang mengandung banyak minyak.
•    Produk susu bagi yang memiliki intoleransi laktosa: termasuk susu sapi, keju, dan yogurt tertentu.
•    Minuman berkafein dan beralkohol yang dapat merangsang kontraksi usus secara berlebihan.
•    Pemanis buatan: seperti sorbitol dan manitol yang sering ditemukan dalam permen bebas gula dan minuman bersoda.

Menjaga pola makan sehat dan menghindari makanan yang dapat memicu gejala akan membantu penderita IBS mengontrol kondisinya dengan lebih baik.

Diagnosis dan Pemeriksaan IBS
IBS merupakan gangguan pada sistem pencernaan yang ditandai dengan nyeri perut serta perubahan pola buang air besar (BAB). “Diagnosis IBS berdasarkan kriteria Rome IV, yaitu  apabila pasien mengalami nyeri perut setidaknya sekali dalam seminggu dalam tiga bulan terakhir, dengan keluhan yang telah berlangsung selama minimal enam bulan, dan disertai 2 dari gejala berikut, 1) nyeri perut berhubungan defekasi, 2) nyeri perut berhubungan dengan perubahan frekuensi BAB (diare atau konstipasi), 3) nyeri perut berhubungan dengan perubahan bentuk kotoran (cair, keras atau lembek)” ujar dr. I Ketut Mariadi.

Selain nyeri perut, IBS juga ditandai dengan perubahan pola BAB, seperti diare, konstipasi, atau bahkan kombinasi keduanya secara bergantian. Konsistensi feses juga dapat berubah menjadi lebih keras atau lebih lembek dari biasanya. Oleh karena itu, dokter perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap gejala pasien serta mengecualikan kemungkinan penyakit lain dengan gejala serupa sebelum menegakkan diagnosis IBS.

Tidak ada tes laboratorium atau pencitraan yang secara langsung dapat mendeteksi IBS, tetapi dokter mungkin melakukan pemeriksaan tambahan seperti tes darah, tes tinja, kolonoskopi untuk menyingkirkan gangguan pencernaan lainnya. 

Dr. dr. I Ketut Mariadi menekankan, “Langkah pertama dalam menangani IBS adalah memastikan diagnosis yang benar. Pasien juga harus diberikan edukasi mengenai kondisi mereka agar dapat mengelola gejala dengan lebih baik.”

Pengobatan dan Pengelolaan IBS
Pengobatan IBS berfokus pada pengelolaan gejala melalui perubahan pola makan, manajemen stres, konsumsi obat-obatan, serta aktivitas fisik. Diet rendah FODMAP sering direkomendasikan bagi penderita IBS karena membantu mengurangi fermentasi berlebih dalam usus yang dapat memicu gejala. 

Penderita IBS sebaiknya menghindari makanan berlemak tinggi, pedas, kafein, alkohol, serta pemanis buatan seperti sorbitol. Selain itu, olahraga seperti yoga dan berjalan kaki juga dapat membantu meningkatkan pergerakan usus dan mengurangi stres.

Karena faktor psikologis berperan dalam IBS, terapi psikologis seperti cognitve behavioral therapy (CBT) juga dapat membantu penderita mengelola stres dan mengurangi keparahan gejala. Penggunaan obat-obatan mungkin diperlukan dalam beberapa kasus, tetapi tidak cukup efektif jika tidak diimbangi dengan terapi non-farmakologis seperti perubahan gaya hidup dan manajemen stres.

“Penting bagi pasien untuk memahami bahwa IBS dapat dikontrol dengan pengelolaan yang tepat. Kombinasi antara perubahan gaya hidup, diet, serta pengobatan yang sesuai bisa membantu pasien hidup lebih nyaman,” kata Dr. dr. I Ketut Mariadi.

Layanan Kesehatan di RS Siloam Denpasar Bali
RS Siloam Denpasar Bali menawarkan layanan kesehatan komprehensif bagi pasien IBS dengan konsep one stop service, yaitu pasien dapat mengakses berbagai layanan medis dalam satu lokasi. Layanan ini mencakup konsultasi dengan dokter spesialis gastroenterologi, pemeriksaan endoskopi dan kolonoskopi, program manajemen stres, hingga panduan nutrisi dari ahli gizi. 

“Digestive Center di RS Siloam Denpasar Bali saat ini sedang dikembangkan, namun telah memiliki fasilitas khusus untuk menangani penyakit pencernaan dengan dukungan konsultan berpengalaman,” jelas Dr. dr. I Ketut Mariadi. 

Dengan pemahaman yang lebih baik tentang IBS serta langkah-langkah manajemen IBS yang tepat, penderita IBS dapat menjalani hidup dengan lebih nyaman dan produktif. Jika mengalami gejala yang mengganggu, konsultasikan dengan tenaga medis untuk mendapatkan penanganan terbaik.

Halaman Selanjutnya

Gejala dan Subtipe IBSGejala IBS bervariasi pada setiap individu, tetapi umumnya meliputi sakit atau kram perut yang mereda setelah buang air besar, perubahan frekuensi dan konsistensi tinja, perut kembung, serta produksi gas berlebih. Untuk memudahkan mengingat, gejala IBS bisa disingkat dengan ABCD, Abdominal pain (sakit perut), Bloated ( kembung), Constipation ( konstipasi), Diarrhea (diare). Berdasarkan pola buang air besar, IBS dikategorikan ke dalam empat subtipe, yaitu:•    Tipe Konstipasi: Didominasi oleh konstipasi (&gt; 25 persen gejala) dengan tinja keras dan sulit dikeluarkan.•    Tipe Diare: Gejala utama berupa diare (&gt; 25 persen gejala) dengan tinja encer dan frekuensi buang air besar yang lebih sering.•    Tipe Campuran: Ditandai dengan pola buang air besar yang bergantian antara diare dan konstipasi (masing-masing &gt; 25 persen).•    Tipe yang tidak terklasifikasikan: gejala diare dan konstipasi &lt; 25 persen.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |