MUN, Prestise, dan FOMO: Saat Ajang Debat Jadi Simbol Gengsi dan Tekanan Sosial

2 hours ago 1

VIVA – Dalam dunia pendidikan yang semakin kompetitif dan serba visual seperti sekarang, Model United Nations (MUN) telah mengalami pergeseran makna yang cukup signifikan. Dari yang awalnya hanya sebuah simulasi sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengasah kemampuan diplomasi dan berpikir kritis, MUN kini menjelma menjadi sebuah simbol prestise dan ajang pembuktian diri, terutama bagi pelajar yang bercita-cita menembus universitas-universitas top dunia.

Tak sedikit siswa yang merasa harus ikut MUN bukan semata-mata karena mereka tertarik dengan isu global, tetapi karena merasa bahwa "kalau nggak ikut, nanti kalah saing"—alias FOMO (Fear of Missing Out).

Fenomena ini bisa kita pahami lebih dalam melalui kacamata teori perilaku konsumen dari Michael R. Solomon, yang menyatakan bahwa keputusan seseorang dalam memilih atau mengikuti sesuatu tidak hanya ditentukan oleh kebutuhan fungsional, melainkan juga oleh pengaruh sosial, simbolisme, dan bagaimana seseorang membangun identitasnya melalui konsumsi.

Menurut Solomon, manusia modern sering kali mengonsumsi barang atau pengalaman bukan karena fungsi utamanya, tetapi karena nilai simbolik yang melekat padanya.

Dalam konteks MUN, nilai simboliknya sangat kuat: anak yang aktif MUN dianggap cerdas, melek isu global, punya kepemimpinan, dan tentu saja, "pantas" masuk kampus internasional. Banyak siswa ikut MUN bukan karena mereka suka debat atau isu diplomasi, tapi karena mereka melihat teman-temannya pamer sertifikat, post Instagram saat jadi delegate, atau karena ada narasi bahwa “kalau mau kuliah di luar negeri, kamu harus aktif MUN.”

Di sinilah aspek symbolic consumption yang dibahas Solomon mulai terasa nyata. Anak-anak muda mulai mengasosiasikan MUN sebagai bagian dari identitas sosial yang elit dan global-minded. Mereka mengonsumsi "pengalaman MUN" sebagaimana seseorang membeli sneakers edisi terbatas—bukan hanya karena nyaman dipakai, tetapi karena dianggap keren dan diakui secara sosial.

Lebih jauh, teori Solomon juga menekankan bagaimana kelompok referensi (reference groups) sangat memengaruhi pilihan konsumsi seseorang. Ketika lingkungan sekolah, teman-teman sebaya, atau bahkan para guru dan orang tua mendorong narasi bahwa “anak yang keren itu ikut MUN”, maka tekanan sosial itu menjadi nyata. Pelajar yang awalnya mungkin tidak tertarik pun jadi merasa wajib ikut demi status sosial atau minimal tidak ketinggalan tren.

FOMO dalam konteks ini bukan hanya soal takut tidak dapat pengalaman, tapi takut dianggap kurang berkualitas secara akademik. Ini membentuk semacam kompetisi simbolik di mana kegiatan seperti MUN tidak lagi hanya dinilai dari kontennya, tapi juga dari persepsi orang terhadap partisipan kegiatan itu. Akhirnya, MUN bukan lagi ruang eksplorasi minat, tapi ajang menunjukkan ambisi.

Di sisi lain, memang tak bisa dipungkiri bahwa MUN punya banyak nilai positif dan bisa memperkaya portofolio pelajar. Banyak universitas luar negeri memang mengapresiasi siswa yang aktif di MUN karena dianggap memiliki kemampuan berpikir kritis, percaya diri, dan mampu bekerja dalam tim. Namun, penting juga untuk mempertanyakan motivasi di balik keikutsertaan tersebut. Solomon akan mengingatkan bahwa keputusan konsumsi yang baik adalah yang dilandasi oleh kesadaran dan pemahaman terhadap kebutuhan diri, bukan karena tekanan sosial atau ingin mengejar validasi semata. Kalau kamu memang passionate tentang diplomasi internasional, isu HAM, dan dinamika geopolitik, maka ikut MUN adalah pilihan tepat yang akan sangat bermanfaat untuk pengembangan diri.

Tapi jika hanya ikut karena semua orang ikut dan takut dianggap ‘nggak ambis’, maka kamu mungkin akan merasa kosong di tengah prosesnya, kehilangan makna, dan hanya berorientasi pada sertifikat serta pengakuan.

Perlu dipahami bahwa dalam konteks perilaku konsumen versi Solomon, seseorang bisa terjebak dalam proses konsumsi yang semu jika tidak berhati-hati—mengikuti aktivitas, membeli barang, bahkan membentuk citra diri berdasarkan ekspektasi sosial, bukan dari keinginan yang jujur. Dalam kasus MUN, ini berarti anak-anak muda bisa kelelahan mengejar validasi dari luar dan lupa untuk mengenali potensi serta minat yang sebenarnya mereka miliki.

Bayangkan, berapa banyak pelajar yang ikut MUN demi menulis sesuatu yang impresif di personal statement, padahal mereka sebenarnya lebih cocok dan berbakat di bidang seni, desain, teknologi, atau kegiatan sosial lainnya? Solomon akan menyebut ini sebagai bentuk ketidaksesuaian antara self-concept dengan actual behavior, di mana identitas diri yang ditampilkan ke luar tidak mencerminkan siapa mereka sebenarnya di dalam.

MUN memang bergengsi, dan itu sah-sah saja. Namun, seharusnya kegiatan ini bukan menjadi standar tunggal untuk mengukur kualitas siswa. Dunia pendidikan seharusnya memberi ruang yang luas untuk berbagai bentuk ekspresi dan kontribusi. Ada banyak cara untuk menunjukkan bahwa kamu layak masuk universitas impian, tidak hanya lewat MUN.

Kamu bisa jadi volunteer yang aktif, penulis muda yang berbakat, inovator muda di bidang sains, atau pegiat lingkungan yang konsisten. Semua itu juga penting dan bernilai tinggi, asal dilakukan dengan niat yang tulus dan reflektif. Solomon akan bilang bahwa konsumen yang bijak adalah mereka yang bisa menilai nilai dari sebuah aktivitas berdasarkan maknanya bagi diri sendiri, bukan karena makna yang ditempelkan oleh lingkungan sosial.

Jadi, sebelum ikut MUN hanya karena semua orang ikut, coba tarik napas dan refleksi dulu. Apa kamu benar-benar ingin mendalami isu global? Apakah kamu menikmati prosesnya, atau hanya menikmati pengakuan setelahnya? Kalau jawabannya ya, go for it. Tapi kalau tidak, tidak ada yang salah. Kamu tetap bisa berprestasi dan menonjol di jalur yang kamu pilih sendiri. MUN bukan satu-satunya jalan menuju kampus impian, dan validasi terbaik bukan dari likes di media sosial, tapi dari rasa bangga karena kamu jujur dengan dirimu sendiri.
 

Halaman Selanjutnya

Di sisi lain, memang tak bisa dipungkiri bahwa MUN punya banyak nilai positif dan bisa memperkaya portofolio pelajar. Banyak universitas luar negeri memang mengapresiasi siswa yang aktif di MUN karena dianggap memiliki kemampuan berpikir kritis, percaya diri, dan mampu bekerja dalam tim. Namun, penting juga untuk mempertanyakan motivasi di balik keikutsertaan tersebut. Solomon akan mengingatkan bahwa keputusan konsumsi yang baik adalah yang dilandasi oleh kesadaran dan pemahaman terhadap kebutuhan diri, bukan karena tekanan sosial atau ingin mengejar validasi semata. Kalau kamu memang passionate tentang diplomasi internasional, isu HAM, dan dinamika geopolitik, maka ikut MUN adalah pilihan tepat yang akan sangat bermanfaat untuk pengembangan diri.

Halaman Selanjutnya

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |