Pemerintah Luruskan Kesalahpahaman Publik Terkait Aturan Baru Rumah Subsidi

1 day ago 4

Selasa, 15 April 2025 - 08:41 WIB

Jakarta, VIVA – Wakil Kepala Staf Kepresidenan, M. Qodari, meluruskan pemberitaan keliru yang beredar di sejumlah media massa dan media sosial terkait pernyataan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait, mengenai syarat maksimal penghasilan bagi penerima manfaat rumah subsidi.

Menurut Qodari, banyak pihak keliru memahami kebijakan baru terkait perluasan batas maksimal penghasilan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang belum lama ini diumumkan pemerintah.

Ilustrasi rumah subsidi (Foto/Antara)

Ia menyoroti salah satu pemberitaan yang menyebut aturan baru tersebut menyulitkan masyarakat dalam membeli rumah subsidi, karena dianggap menaikkan batas penghasilan. Padahal, esensi dari kebijakan ini bukanlah pembatasan, melainkan justru membuka akses yang lebih luas bagi kelompok MBR.

“Beberapa media menulis bahwa masyarakat tidak mampu membeli rumah karena batas penghasilan terlalu tinggi. Padahal, dengan aturan baru ini justru terjadi pelonggaran kriteria bagi penerima manfaat MBR. Dengan begitu, lebih banyak masyarakat Indonesia yang dapat menikmati program rumah subsidi,” ujar Qodari dalam keterangannya, Selasa, 15 April 2025

Sebagai informasi, batas maksimal penghasilan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang dapat mengakses rumah subsidi kini dinaikkan menjadi Rp12 juta bagi individu lajang dan Rp14 juta bagi yang telah menikah. Kebijakan ini lebih longgar dibandingkan ketentuan sebelumnya yang menetapkan batas penghasilan sebesar Rp7 juta untuk lajang dan Rp8 juta bagi yang sudah menikah. 

Artinya, masyarakat dengan penghasilan setara atau di bawah batas tersebut, termasuk mereka yang bergaji sesuai upah minimum regional (UMR), kini berhak memperoleh pembiayaan rumah subsidi.

“Aturan ini harus dilihat dalam konteks memperluas jangkauan bantuan, bukan membatasi. Kebijakan ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam memastikan akses kepemilikan rumah bagi lebih banyak kelompok masyarakat,” tegasnya.

Dalam konteks tersebut, Qodari juga menekankan pentingnya akurasi dalam pemberitaan media massa. Apalagi, di era digital saat ini, informasi dari media dengan cepat menyebar melalui media sosial. Jika tidak akurat, informasi tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat.

“Sekarang ini, berita dari media massa langsung diunggah ke media sosial,” ujarnya.

“Kejadian ini menjadi pengingat bahwa media dan para jurnalis harus lebih cermat dalam membaca serta memahami informasi. Sebab jika salah membaca dan salah mengerti, yang tersebar bukan informasi, melainkan disinformasi,” lanjut Qodari.

Lebih jauh, Qodari mengingatkan bahwa kesalahan tafsir dalam pemberitaan bisa berdampak pada keresahan publik.

Wakil Kepala Staf Kepresidenan, M. Qodari

Untuk itu, ia mengimbau media untuk menerapkan verifikasi yang ketat terhadap sumber informasi sebelum menerbitkan berita. Ia juga mengajak masyarakat pengguna media sosial untuk lebih cermat dalam membaca serta memilah informasi dari sumber yang kredibel.

“Meluruskan informasi seperti ini penting agar publik mendapatkan pemahaman yang benar. Kami berharap media dan warganet dapat bersama-sama lebih berhati-hati dan bertanggung jawab dalam menyampaikan dan menyebarkan informasi,” pungkas Qodari.

Halaman Selanjutnya

“Sekarang ini, berita dari media massa langsung diunggah ke media sosial,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |