VIVA – Baru-baru ini saya mengadakan perjalanan ke Minangkabau atau Sumatera Barat untuk beberapa hari. Kerinduan isteri saya, yang sudah 22 tahun tidak mengunjungi kampung halamannya di Sulit Air, mendorong saya melakukan perjalanan ini. Selain itu saya juga bermaksud mengajak anak saya yang bungsu yang berusia 13 tahun, untuk mengenal daerah ini lebih dalam.
Minangkabau memang terkenal dengan alamnya yang cantik nan indah. Walaupun kini telah banyak berubah karena bangunan-bangunan baru yang bertumbuh dengan cepat, namun kita masih bisa menikmati alam yang indah dan menyegarkan mata. Oleh karena itu, saya sengaja menghindari kota Padang, ibukota provinsi, yang ramai dan banyak bangunan yang tinggi.
Minangkabau memiliki sejarahnya yang panjang di bidang sosial, budaya, dan politik. Di bidang sosial budaya kita mengenal sistem kekerabatan yang disebut matriarki, dimana garis keturunan ibu atau perempuan memiliki kekuasaan besar dalam kelompok keluarga. Barangkali sistem kekerabatan semacam ini satu-satunya di dunia. Demikian juga adat istiadat yang bersandikan Islam mempunyai peranan besar dalam budaya Minangkabau. Kita mengenal dari Imam Bonjol sampai ke Hamka sebagai ulama sekaligus tokoh Islam yang mengadakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Dan melalui latar belakang itulah melahirkan novel-novel yang terkemuka di tanah air. Siapa tak mengenal A.A. Navis, dengan karyanya “Robohnya Surau Kami”, Sutan Takdir Alisjahbana dengan novelnya “Layar Terkembang”, Marah Rusli dengan “Siti Nurbaya”, Abdoel Moeis dengan “Salah Asuhan”, dan novel karya Hamka, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” yang sudah difilmkan.
Semua itu, untuk menyebut sebagian, mereka adalah tokoh Angkatan 20 atau Angkatan Balai Pustaka. Novel-novel itu bertema tentang nilai-nilai lama dan modern. Masalah emansipasi perempuan, kawin paksa, dan pertentangan antara kaum muda dan kaum tua. Saya beruntung karena sebagian novel tersebut sudah saya baca ketika duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), yang sebelumnya merupakan buku bacaan kakak saya, Nur Eni Daeng Niaty.
Di bidang politik, Minangkabau telah melahirkan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia, seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Mohammad Yamin, Tan Malaka, dan Agus Salim untuk menyebut sebagian dari puluhan tokoh yang ada. Sampai zaman kemerdekaan pun tokoh dari Minang kita jumpai.
Dengan kekayaan alam, sejarah, budaya, dan sosial politik telah menimbulkan banyak ilham dan pelajaran bagi banyak orang. Bagi para penulis ini merupakan “harta karung” yang tak ada habis-habisnya untuk diolah.
Dalam perjalanan ke tanah Minangkabau itu, saya memutuskan untuk memilih dan mengunjungi dua bangunan bersejarah yang terkenal. Pertama, Asrama Diniyyah Puteri yang terletak di kota Padang Panjang. Kedua, Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta di Bukittinggi.
Asrama Diniyyah Puteri
Pertama kali saya mengunjungi Padang Panjang, yaitu pada tahun 1979, untuk menghadiri pernikahan adik saya dengan gadis Minang. Pada waktu itu kota ini masih rimbun dan terasa sejuk karena belum banyak bangunan. Para siswa Perguruan Diniyyah Puteri masih berkerudung, seperti Ibu Fatmawati ketika masih gadis. Kini kebanyakan mereka sudah berjilbab.
Mengapa saya memilih Asrama Diniyyah Puteri sebagai kunjungan pertama ke Minangkabau? Alasan utamanya adalah karena ini bangunan bersejarah yang dilestarikan. Asrama ini merupakan tempat berdiam para siswa puteri untuk bersekolah di Perguruan Diniyyah Puteri, yang berada tidak jauh dari asrama ini. Ibunda isteri saya pernah mengecam pendidikan di sekolah ini.
Asrama ini menyediakan lingkungan yang kondusif bagi para siswa untuk belajar, beribadah, dan mengembangkan karakternya sebagai seorang muslimah. Asrama ini pernah dilanda gempa bumi. Untunglah sekarang terpelihara dengan baik. Dan suasana sekitar asrama terasa sangat damai, bersih, dan terawat. Di depan pintu pagar terdapat pos penjagaan. Sebelum memasuki asrama terpasang monumen yang menandai terbentuknya asrama ini disertai misi yang diembannya.
Dari cerita pengasuh asrama kepada isteri saya, yang meninjau asrama yang berlantai dua ini, kita dapat mengetahui kondisi asrama ini. Jumlah penghuni asrama berkisar ratusan putri. Kamarnya berupa bangsal besar sehingga mudah mengawasi para siswa yang ada di kamar.
Menurut catatan, perguruan puteri dan asramanya ini merupakan yang pertama Asia Tenggara dan bahkan di Asia. Para siswa datang dari berbagai penjuru tanah air dari luar negeri. Terutama dari Malaysia dan Brunei. `
Perguruan Diniyyah Puteri didirikan pada 1 November 1923. Jadi, sudah cukup lama, di masa Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Didirikan oleh Rahmah El Yunusiyah dalam usia cukup muda. Lulusan dari perguruan ini cukup banyak. Salah satu diantaranya pahlawan nasional H.R. Rasuna Said. Nama ini kemudian menjadi nama jalan di daerah Kuningan, Jakarta Selatan.
Di samping itu kita mengetahui pula bahwa Tan Sri Aisha Gani, Menteri Kebajikan Masyarakat Malaysia 1973-1984 pernah mengecam di perguruan ini. Saya tidak tahu apakah Rahmah El Yunusiyyah sudah pernah diberi gelar pahlawan nasional mengingat jasanya yang besar itu.
Rumah Kelahiran Bung Hatta
Kunjungan berikutnya, yang tidak boleh dilewatkan begitu saja, adalah Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta atau nama lengkapnya Mohammad Hatta. Meskipun saya telah berkali-kali datang mengunjungi Sumatera Barat, namun tidak sempat mengunjungi museum ini. Nah, baru kali inilah, dimasa pensiun, saya dapat meluangkan waktu mengunjungi museum ini bersama isteri dan anak bungsu saya.
Kita tentu sudah sangat mengenal Bung Hatta, yang bersama Bung Karno, memproklamasikan kemerdekaan negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Akan tetapi rumah kelahiran dan tempat bermain pada masa kecil Hatta jarang sekali diketahui orang. Meseum ini baru diresmikan pada tanggal 12 Agustus 1995, setelah dilakukan renovasi akibat terbengkalai cukup lama. Museum ini terletak di tengah kota Bukittinggi, di Jalan Soekarno-Hatta No. 37. Tidak jauh dari Jam Gadang.
Kesan pertama saya ketika menginjakkan kaki memasuki rumah ini adalah sambutan ramah datang dari bagian resepsionis. Di sini kita mencatatkan nama kita sebagai tamu. Kita harus melepas alas kaki untuk selanjutnya memasuki lantai pertama. Museum ini terdiri dari dua lantai. Pada lantai pertama terdapat ruang tamu, kamar tidur, dan ruang makan. Kamar tidur di lantai ini ditempati paman Hatta.
Selama kita berkeliling di dalam rumah terdengar pula suara perempuan, melalui rekaman audio bercerita tentang kehidupan dan perjuangan Hatta. Salah satu yang menarik adalah tentang janji Hatta tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Dan itu dibuktikannya, Hatta menikah pada tanggal 18 November 1945 dalam usia 43 tahun dan istrinya, Rahmi Rahim, yang berusia 19 tahun. Dan orang yang menjodohkan kedua pasangan itu adalah Soekarno sendiri.
Di lantai ini kita dapat melihat foto-foto kegiatan Hatta dari masa kecil, masa studi dan perjuangannya dalam Perhimpunan Indonesia di Belanda, bersama teman-teman seperjuangan, seperti Nazir Pamoentjak, Abdul Madjid Djojoadhiningrat, Ali Sastroamidjojo, dan Soekiman Wirjosandjojo. Disitu kita dapat menelusuri jejak Hatta di Belanda dan konferensi internasional di Eropa pada umumnya.
Kita dapat pula menyaksikan foto-foto setibanya di Jakarta sampai masa kemerdekaan dan sesudahnya. Saya tertarik melihat foto Hatta pada masa tuanya tanpa mengenakan kacamata. Semula saya tidak mengenalnya, setelah mengamati secara seksama barulah saya tahu bahwa itu adalah Bung Hatta.
Ada sejumlah buku mengenai Hatta yang dapat dibeli di sini. Dari situ kita mengetahui bahwa Hatta mempunyai banyak koleksi buku yang sebagian besar dibeli di masa dia berdiam di Belanda, sebagai mahasiswa selama 11 tahun. Dan ketika diasingkan oleh Belanda ke Boven Digul kemudian ke pulau Banda Neira tak lupa buku-buku itu dibawa serta.
Kamar Bung Hatta terletak di belakang dalam ukuran kecil dekat dengan dapur. Di bagian lain kita dapat melihat kandang kuda. Seperti terlihat dalam foto, tampak Hatta di umur 10 tahun mengendarai bendi yang ditarik oleh seekor kuda untuk berangkat ke sekolah. Kuda itu juga digunakan sebagai alat transportasi pos yang diusahakan oleh pamannya. Sedangkan lumbung beras didirikan di halaman belakang.
Barulah di lantai dua terletak kamar di mana Hatta dilahirlan. Di lantai ini pula terdapat ruang keluarga untuk bersantai. Di lantai dua ini kita dapat memandang ke depan dan juga ke belakang. Terbayang pada masa lalu pemandangan alam yang indah, karena belum banyak bangunan yang menghalangi mata memandang.
Yang penting dicatat adalah sumbangan pemikiran Hatta pada naskah Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Hatta dikenal sebagai seorang muslim yang taat, namun kecintaannya pada rasa persatuan bangsa tidak berkurang. Itulah yang mendorong dia mendukung dihapusnya tujuh kata dalam sila pertama Pancasila. Tujuh kata itu adalah sila pertama Pancasila versi Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Hatta menyatakan bahwa ada desakan dari kelompok Kristen dan Katolik tidak ikut Indonesia seandainya tujuh kata itu tidak dihilangkan. Ini berarti negara Indonesia akan terpecah. Setelah diskusi yang lama antara kelompok nasionalis, Soekarno-Hatta, dengan kelompok Islam, akhirnya kelompok Islam mencabut ketujuh kata itu dan menggantinya dengan kata Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sama artinya dengan tauhid.
Selain itu, Hatta mendorong dimasukkannya nilai-nilai hak asasi manusia dalam UUD 1945. Ini dapat lihat pada Pasal 28 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Demikian pula dengan Pasal 33 yang menyangkut kesejahteraan sosial, yaitu: “(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Sebenarnya masih banyak pemikiran dan langkah politik yang cukup bermakna pada awal kemerdekaan, seperti Maklumat X dan Maklumat 3 November 1945. Belum lagi kita menyinggung politik luar negeri. Tapi Pembukaan UUD 1945 yang dua pasal di atas kiranya cukup relevan untuk dicantumkan menghadapi dinamika politik tanah air dewasa ini.
Kesimpulan
Dari kunjungan ke Perguruan Diniyyah Puteri dan Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta, kita disadarkan betapa penting sejarah bangsa kita tonjolkan kembali. Bahwa perjuangan pendidikan perempuan telah berlangsung lama dan pemikiran Hatta masih relevan untuk masa kini. Hendaklah generasi muda lebih menghargai perjuangan para pendahulunya. Seperti kata Bung Karno “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya”.
Kita berharap pada suatu saat dapat dibangun kembali rumah di Pegangsaan Timur 56, dimana Bung Karno mencetuskan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Tidak sekedar mendirikan patung Soekarno-Hatta. Dengan demikian semakin lengkap jejak perjalanan negara ini.
Kebagusan, 14 Mei 2025.
Ibrahim Ambong, Anggota DPR-RI 1997-2004 dan Duta Besar RI di Santiago, Chile, 2006-2010.
Halaman Selanjutnya
Dalam perjalanan ke tanah Minangkabau itu, saya memutuskan untuk memilih dan mengunjungi dua bangunan bersejarah yang terkenal. Pertama, Asrama Diniyyah Puteri yang terletak di kota Padang Panjang. Kedua, Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta di Bukittinggi.
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.