DPR: Fenomena Suap Hakim Gerogoti Kepercayaan Publik Terhadap Sistem Peradilan

1 week ago 6
Update Buletin News Malam Jitu Terbaik

Jakarta, VIVA - Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta mengatakan penangkapan terhadap empat hakim dan dua orang pengacara, serta satu orang panitera ini menambah daftar panjang kasus terkait dengan mafia peradilan. Menurut dia, fenomena suap pada sistem peradilan ini sudah sejak lama terjadi hingga saat ini. Herannya, permasalahan ini belum hilang sama sekali seperti penyakit kronik yang belum ada obatnya.

Sebelumnya, seorang mantan hakim agung Mahkamah Agung juga ditangkap karena kasus suap. Komisi III DPR RI saat itu menyoroti para hakim yang menangani perkara Ronald Tannur karena dijatuhi vonis bebas pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, sebelum diputus bersalah di tingkat kasasi Mahkamah Agung.

“Fenomena suap hakim dan mafia peradilan di Indonesia telah menjadi masalah sistemik yang merusak integritas penegakan hukum. Praktik suap, intervensi pihak eksternal, dan kolusi antara penegak hukum, pengacara, dan para pihak berperkara telah menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem peradilan,” kata Wayan melalui keterangannya pada Senin, 14 April 2025.

Anggota DPR RI Fraksi PDIP, I Wayan Sudirta

Kata dia, Pemerintah dan DPR telah berupaya dengan berbagai cara seperti membentuk Satuan Tugas Khusus maupun Panitia Kerja untuk menyoroti hal ini. Namun, ternyata kartel hukum ini tidak hilang atau bisa dikatakan justru semakin nyata terjadi. Tentunya, ia yakin kalau dilakukan survei terbuka bahwa bukan rahasia umum lagi sistem peradilan dan penegakan hukum sangat rentan dengan suap maupun mafia atau calo. 

“Hal ini sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat. Namun, sebenarnya apa yang salah dari sistem peradilan kita ini? Sudah sejak lama atau sejak zaman reformasi, telah ada komitmen untuk mereformasi sistem hukum dan peradilan secara lebih terbuka, profesional, dan terpercaya. Seluruh model dan format kajian terhadap independensi, kemandirian, maupun upaya untuk meningkatkan integritas dan kualitas peradilan yang tinggi telah dicoba untuk digalakkan,” ujar Anggota Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) ini.

Tetapi, kata Wayan, seolah permasalahan ini tidak akan pernah berhenti dan terus-menerus terjadi, bahkan semakin marak dan kasat mata. Menurut dia, kasus yang baru diungkap oleh Kejaksaan Agung merupakan persoalan yang terjadi di seluruh tahap peradilan. Berarti, sistem peradilan pidana menyangkut penyidikan, upaya paksa, penuntutan hingga putusan.

“Atau dari pengajuan gugatan atau permohonan, putusan, hingga eksekusi. Seluruh tahap seolah memiliki “tarif” tersendiri. Saya meyakini bahwa hal itu bukanlah bualan semata. Dalam praktik di lapangan, banyak modus-modus yang telah tercipta untuk memuluskan peran dan pengaruh mafia hukum dan peradilan ini,” jelas dia.

Oleh sebab itu, Wayan tidak hanya berbicara soal struktur dan substansi dari hukum dan peraturan perundang-undangan, namun juga kultur dari hukum dan fenomena tersebut. Tidak berhenti di situ, kajian ilmiah dan akademis juga terus dilakukan untuk menjawab dan mencegah permasalahan ini dari sudut pandang penegakan hukum dan etik, ketatanegaraan, pengawasan, atau hingga sistem hukum yang telah berjalan saat ini. 

“Permasalahan mengenai suap menyuap dalam sistem peradilan bukanlah hal baru, karena pasti terkait dengan penanganan perkara dan kewenangannya. Hal ini bisa teridentifikasi dari beberapa akar permasalahan, di antaranya budaya korupsi sudah sangat kronis dan sistemik, lemahnya pengawasan eksternal serta internal. Penanganan permasalahan hakim dan aparat penegak hukum sepertinya hanya “gesture” belaka atau untuk meredam amarah publik,” ungkapnya.

Kemudian, kata dia, sistem rekrutmen dan seleksi hakim atau sistem pembinaan karir yang seringkali tidak transparan dan banyak titipan. Persoalan ini diperparah dengan sistem pembinaan karir yang tidak meritokratis. Di mana, sistem reward and punishment dikhawatirkan hanya menjadi slogan, karena pada akhirnya tetap yang bisa menjaga keseimbangan dengan penguasa yang sudah ada. 

“Hal ini seperti lingkaran setan. Minimnya pendidikan dan pelatihan yang mendorong integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Kesalahan-kesalahan kecil seringkali hanya dimaklumi dan pemberian hukuman yang tidak tegas. Pelatihan integritas, pembangunan zona integritas dan wilayah bebas korupsi tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan obyektif,” ujarnya.

Selanjutnya, Wayan mengatkaan rendahnya gaji hakim dan kesejahteraannya dibanding beban kerja dan godaan suap yang jauh timpang. Meskipun kini gaji dan tunjangan hakim sudah dinaikkan, lanjut dia, tidak serta merta membuat hakim merasa aman dan tercukupi. Kecenderungan untuk hidup lebih layak dan mudah menjadi salah satu dasar pilihan atau motivasi.

“Pengawasan internal dan eksternal tidak efektif karena kalah dengan asas kemandirian dan independensi yudikatif; bebas dan mandiri. Pengawasan eksternal dari KY maupun lembaga pengawas eksternal lainnya akhirnya hanya mengandalkan publik untuk menekan, bukan komitmen dari pengawas yang memegang kewenangan. Bukan tidak mungkin pula pengawasan ini hanya sebuah simbol saja, dan tidak memiliki skema pengawasan yang efektif dan melekat secara implementatif,” jelas dia.

Selain edukasi terhadap seluruh aparat penegak hukum, hakim, dan termasuk advokat, kata Wayan, dibutuhkan kejelasan sistem yang dapat memudahkan penanganan pelanggaran seperti hukum dan etik yang sangat berat dan dilakukan melalui SOP atau prosedur yang jelas dan obyektif. Makanya, perlu peningkatan keterlibatan masyarakat dalam pemantauan dan pengungkapan praktik mafia hukum dan peradilan.

Wayan menambahkan pencegahan dan pemberantasan mafia hukum dan peradilan, termasuk budaya suap hakim dan penyalahgunaan kewenangan adalah masalah serius yang membutuhkan pendekatan multidimensi. Reformasi struktural, pemanfaatan teknologi, penegakan hukum tegas, dan peningkatan kesadaran integritas harus dilakukan secara konsisten dan simultan. 

“Tanpa upaya serius, kepercayaan publik terhadap hukum di Indonesia akan terus merosot dan tentunya menghambat pembangunan bangsa dan sumber daya manusia Indonesia,” katanya.

Untuk itu, Wayan mendorong pendekatan penegakan hukum, pencegahan, pelatihan, dan langkah-langkah sistemik dalam pengambilan kebijakan dan penanganannya harus terus dilakukan secara transparan dan berkelanjutan. "Mudah-mudahan komitmen bersama kita akan mampu memberantas mafia hukum dan peradilan yang meresahkan,” pungkasnya.

Halaman Selanjutnya

“Atau dari pengajuan gugatan atau permohonan, putusan, hingga eksekusi. Seluruh tahap seolah memiliki “tarif” tersendiri. Saya meyakini bahwa hal itu bukanlah bualan semata. Dalam praktik di lapangan, banyak modus-modus yang telah tercipta untuk memuluskan peran dan pengaruh mafia hukum dan peradilan ini,” jelas dia.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |